Langsung ke konten utama

Nobel, will Indonesia get it?

           
Seorang teman pernah bertanya,”anak-anak sekolah sekarang sudah bisa memenangkan nobel sains, kenapa Indonesia tidak pernah menang Nobel betulan?”
           Oh well, for me the question sounds naive. So I answered “ di Nobel mata pelajaran, anak-anak itu sudah disediakan pertanyaan,  yang perlu mereka lakukan hanyalah menjawabnya. Diperlukan imajinasi terbatas sesuai konteks dan kemampuan matematika hebat. Mereka bahkan sudah terlatih menjawab soal-soal tersebut selama berbulan-bulan. They have prepared for what’s coming next."
            Beda dengan penghargaan Nobel betulan. Disitu, seorang ilmuwan atau ahli harus mengamati dinamika masyarakat sekitar, mengidentifikasi masalah, menentukan metode pemecahan masalah yang paling mudah diaplikasikan saat itu, dan menawarkan solusinya. Dan bukan masalah atau solusi yang sangat fantastis atau remeh, tapi solusi tersebut harus bisa meletakkan dasar pemecahan masalah yang revolusioner dan bermanfaat bagi umat manusia.
            Solusi yang ditawarkan atas masalah umat manusia oleh para pemenang Nobel Sains kadang terlihat absurd di mata mayoritas media dan orang Indonesia. Seperti behavioral analysis, model molekul DNA, struktur molekul kimia, partikal super nano, dll. Kita yang belum akrab dengan teknologi molekuler jelas bingung kenapa hal-hal di luar nalar bisa dapat Nobel.
            Untuk meraih penghargaan Nobel seseorang harus terlatih mengidentifikasi dan memecahkan masalah. Bagi penggila podcast mungkin tahu Freakonomics, siaran ekonomi mikro yang dikemas menyenangkan, sederhana dan mudah dimengerti. Atau jurnal-jurnal keluaran Max Planck Institute, fasilitas penelitian sains terkemuka di Jerman yang rajin mempublikasikan hasil riset-riset yang dilakukannya.
            Freakonomics atau Max Planck mungkin terlihat sederhana dan remeh, tapi justru dari sinilah calon laureate-laureate Nobel baru bermunculan. Bermula dari hal-hal sederhana dan melangkah ke masalah mendasar kemudian menemukan solusi yang revolusioner.
            Jujur saja, Indonesia belum punya itu semua. Sains masih dipandang sebelah mata. Profesi ilmuwan dan peneliti kurang dihargai. Dorongan untuk memperbanyak riset nyaris tidak ada. Ilmuwan-ilmuwan lokal yang betul-betul brilian lebih memilih hijrah ke mancanegara karena disini tidak ada yang menghargai atau memakai jasa mereka.
            Fasilitas penelitian dan dorongan untuk meneliti sains sangat minim. Jangankan dengan China atau Jepang, dibandingkan dengan Malaysia saja kita masih kalah. Jargon-jargon universitas riset masih menjurus pada bidang sosial, belum menyentuh sains.
            Akui saja, budaya meneliti di Indonesia masih sangat rendah. Jarang ada orang yang bersedia mengalokasikan waktunya untuk riset. Mungkin karena memang bukan budaya bangsa ini untuk meneliti. Kita lebih suka langsung menerima jawaban daripada berusaha mencarinya sendiri.
            Last but not least, umur Harvard University setara dengan kerajaan Demak. Ketika Harvard berdiri, Majapahit di ambang keruntuhan (saya sengaja tidak membandingkan dengan universitas di Eropa karena mereka sudah berdiri sejak abad pertengahan, dan masih berdiri sampai saat ini). Artinya: budaya belajar dan meneliti sudah ada sejak 500 tahun yang lalu di benua Amerika. Indonesia masih harus melalui jalan panjang kalau ingin meraih penghargaai Nobel.

            Kita bermimpi meraih Nobel. Namun perlu diingat bahwa untuk meraih mimpi butuh perencanaan dan kerja keras, bukan sekedar iri hati dan merasa jadi korban. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bagus Serap Air

    Konsekuensi dari tinggal di kamar kos dekat pohon besar adalah kamar yang lembab. Begitu pula dengan kamar saya. Tepat di depan kamar menjulang pohon mangga. Kaum tetumbuhan setiap malam rajin mengeluarkan karbon dioksida dan uap air sepanjang hari. Tidak heran kamar saya menjadi lembab, rentan jamur, baju dan buku terancam lapuk.     Untuk itulah saya memerlukan desiccants alias penyerap lembab yang dapat menyerap uap air dengan kuat. Saya pun mencoba Bagus Serap Air varian 450 ml sekali pakai. Bahan Aktif yang digunakan ialah butiran kalsium klorida (CaCl). Hasilnya? Dalam waktu 30 hari satu wadah penuh terisi cairan air dan garam yang berasal dari kelembaban di kamar saya.

Teh Tarik

Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, minuman bernama teh tarik ini bisa dibilang barang baru. Minuman yang berasal dari campuran teh hitam dengan susu ini baru dikenal awal tahun 200an, saat beberapa restoran menawarkan menu-menu ala negeri jiran, terutama Malaysia dan Singapura. Teh tarik biasa disajikan bersama roti bakar dan wafel di restoran-restoran ini.     Teh tarik sering rancu diartikan sebagai teh susu. Walau benar sebagian, ada perbedaan kecil antara teh tarik dan teh susu. Teh tarik adalah teh susu yang dituang bolak-balik di antara dua gelas besar sehingga menghasilkan cita rasa yang khas. Teh susu yang biasa disajikan di booth-booth berbagai merek teh biasanya hanya teh hitam dicampur susu yang dikocok beberapa saat dengan es batu.

The Last Ship

Sebuah virus yang lebih mematikan dari Ebola dan lebih menular dari SARS menyerang penduduk bumi. Belum ada vaksinnya. Penduduk dunia yang tewas karena virus bertambah dengan cepat dari hari ke hari. Harapan terakhir ada di pundak virolog Dr. Rachel Scott dan awak kapal USS Nathan James. Mereka berjuang mencari vaksin virus tersebut agar dapat segera diberikan kepada orang-orang yang terinfeksi. The Last Ship adalah tontonan yang tepat bagi wanita pencandu ketegangan tapi tidak ingin kehilangan hiburan wajah-wajah tampan. Marinir-marini kapal USS Nathan James adalah gambaran ideal pasukan angkatan laut. Taktis, kuat, gesit, lincah, serba bisa, dan lumayan punya rasa humor. Bagi para wanita, inilah salah satu serial yang memanjakan mata.