Sebetulnya tidak ada ekspektasi
apapun saat meminjam The Sherlockian. Dari slogannya, “pengakuan rahasia Conan
Doyle”, sudah bisa ditebak bahwa Moore memakai tokoh Sir Arthur Conan Doyle
protagonisnya. Seusai membaca Sherlockian, bisa disimpulkn bahwa kisah ini
bukanlah cerita yang isitimewa.
Alurnya tercampur antara flashback dengan linear. Ada 2 plot utama, plot masa kini dan plot
masa lalu. Penggambaran Moore terhadap kedua tokoh protagonisnya tidak terlalu
mengesankan, bahkan cenderung stereotip. Sherlockian saya nilai cukup dengan 1
dari 5 bintang, mengingat kehambaran dan kebosanan yang menyertainya.
Arthur Conan Doyle sudah bosan
dengan tokoh rekaannya, Sherlock Holmes. Holmes sudah merenggut seluruh waktu,
perhatian dan energinya. Ia “membunuh” Holmes. Namun bom asap kiriman seorang
pembaca yang kecewa menuntunnya ke sejumlah pembunuhan berantai. Dan ia
tertarik untuk “menghidupkan” Holmes kembali.
Harold White adalah seorang
anggota Laskar Baker Street yang baru saja dilantik. Di malam pasca
pelantikannya, seorang anggota senior Laskar terbunuh. Dibantu oleh seorang
wartawati lepas, ia berusaha mencari siapa pembunuhnya.
Ada 2 protagonis disini, Arthur
dan Harold, yang memerankan diri mereka sebagai “Sherlock Holmes”, detektif
ulung yang menyelidiki pembunuhan. Watson diperankan oleh Bram Stoker (penulis
Bram Stoker’s Dracula) dan Sarah Lindsay si wartawati.
Berbeda dengan kebanyakan
premis novel detektif dimana pelakunya adalah orang-orang terdekat korban, Sherlockian menganut jalan cerita ala sinema
televisi CSI atau Criminal Minds. Arthur dan Harold harus berhadapan dengan
ruwetnya birokrasi kepolisian, proses manual pencarian petunjuk, hingga
mewawancarai calon tersangka satu per satu. Persis seperti yang dilakukan
Hercule Poirot. Kedua tokoh utama ini disadarkan bahwa proses penyelidikan di
dunia nyata tak semudah fiksi Sherlock Holmes.
Komentar