Bagaimana rasanya punya
prosesor (chip komputer) yang ditanam di otak? Chip yang bisa mengakses
berbagai data pemerintah dengan cepat, bisa melakukan olah TKP sendiri, dan
bisa melacak lokasi lawan atau kawan dimanapun mereka berada? Gabriel Vaughn
(Josh Holloway) tahu rasanya, karena ia punya prosesor itu di otaknya. Ia bisa
melakukan semua hal di atas, bahkan lebih, berkat kemampuan chip tersebut,
ditambah pengalamannya sendiri saat bertugas sebagai tentara Delta Force.
Apakah chip tersebut membuat
hidupnya lebih mudah? Sebagian kecil, ya. Ia tidak usah pusing memikirkan gaji,
komisi, pajak, tetangga, sosialisasi, dan lain-lain. Hidupnya amat berkecukupan
karena statusnya sebagai aset nasional. Tapi ia tidak bisa mencegah kematian
istrinya, atau friksi dengan sahabatnya. Sederhananya, chip tersebut hanya
membantu karirnya, bukan kehidupannya. Emosi manusiawinya teradang membuat
otaknya rentan dibajak teroris, atau mendadak mengalami amnesia, atau depresi
akut. Seperti komputer, ia harus terus menerus memperbarui antivirus, firewall, dan upgrade software. Berbagai potensi pembajakan itu membuat Agen
Riley Neal ditugaskan mengawal dan menjaganya 18 jam sehari.
Kesan pertama yang muncul saat
menonton episode pilot Intelligence adalah : this is what happen when Google transplanted to a human. Gabriel
bagaikan Google yang bisa tahu segala sesuatu hanya dengan masuk ke internet.
Prosesor di otaknya bisa berjalan dengan listrik bervoltase rendah dari
tubuhnya. Ia bisa terus menerus mengakses internet dan menggali data tanpa
perlu terhubung dengan kabel. Google, Big
Data, Data Mining, Data Cruncher, Data Warehous, Decision Making, semua
bisa dilakukan oleh satu orang, dalam waktu sesingkat-singkatnya. Scary.
Berapa banyak lapangan kerja
yang bakal menghilang jika ada satu saja orang seperti itu? Sangat banyak.
Manusia dengan prosesor di otaknya ini juga melanggar privasi dan hak
kerahasiaan. Dalam Intelligence, penonton disadarkan hilangnya privasi dan
hak-hak mereka saat mesin bisa mengambil data pribadi mereka sewaktu-waktu.
Sebagai sebuah cerita,
Intelligence dikemas baik. Gabriel digambarkan tidak sekadar mesin, tapi
tentara terlatih dengan perikemanusiaan tinggi. Riley, walau dingin, mampu
menstabilkan suasana yang kadang memanas. Lilian, kepala USCom, pawai bermain
politik dan peduli dengan kondisi staf-stafnya, termasuk ketika Riley harus
mencari Gabriel yang depresi ditinggal istrinya.
Alur Intelligence cenderung
lambat, tidak secepat NCIS atau CSI Cyber, tapi tidak membosankan dan tetap
enak dinikmati. Pengembangan karakternya gradual, dan masuk akal. Ada daya
tarik yang meminta penonton tetap setia mengikuti ceritanya. Humor antar karakternya
terbangun baik. Penonton tersadar bahwa semua orang dalam USCom peduli satu
sama lain. Worth watching for binge
watching or a mere refreshing.
Komentar