Indonesia adalah negeri yang
tergila-gila dengan nasionalisme, sama seperti Amerika Serikat. Nasionalisme
itu diwujudkan dalam dua hal, yaitu penegakan kedaulatan wilayah dan
swasembada. Media-media Indonesia, mulai dari televisi, koran, majalah, dan
kantor berita online tak jemu-jemunya
menyuarakan nasionalisme, swasembada, dan kedaulatan. Atas nama kedaulatan
pangan, segala jenis impor diharamkan. Pedagang dilarang mendatangkan daging sapi,
beras, bawang merah, atau kebutuhan masyarakat lain dari mancanegara. Kalaupun
boleh, pasti diberi pajak tinggi dan diberi kuota. Perkara harga-harga
melambung tinggi, itu diurus belakangan.
Beberapa bulan yang lalu majalah
Tempo menyuarakan lagi nasionalisme dengan sangat lantang. Kali ini mereka
menyuarakan potensi banjir tenaga kerja dari Tiongkok, dengan indikasi puluhan
warga negara Tiongkok yang direkrut sebuah perusahaan di Bali. Tempo menganggap
perekrutan itu sebuah langkah awal banjirnya ribuan tenaga kerja Tiongkok, oleh
karena itu pemerintah harus melarang masuknya tenaga kerja Tiongkok untuk masuk
di segala bidang kerja di Indonesia, atas nama nasionalisme dan kedaulatan.
Setelah sekian tahun membaca
Tempo, saya cukup tahu bahwa media ini kerap melebih-lebihkan suatu pernyataan
dan dugaan dengan alat bukti dan wawancara minimal, bahkan seadanya.
Kalimat-kalimat pembuka investigasi mereka kerap dicomot dari novel aksi yang
kurang dikenal pembaca lokal, seperti karya Jeffrey Archer atau Lee Child.
Sebuah foto bukti yang buram kerap dikembangkan menjadi dua-tiga dugaan yang
serupa plot film Hollywood. Konsep keadilan mereka pun bengkok, lebih condong
ke pelanggar aturan yang jumlahnya banyak dibanding beberapa orang yang taat
aturan.
Konsekuensi yang diharapkan
media yang keblinger nasionalisme dan orang-orang yang dibutakan oleh
kedaulatan adalah pertumbuhan perekonomian yang disokong produk yang diproduksi
sendiri. Istilahnya: dari kami, untuk kami, dan oleh kami. Idealisme yang
mereka usung adalah rakyat memproduksi barang sendiri, mendistribusikan
sendiri, dan mengkonsumsi sendiri. Mereka lupa ada rantai produksi (supply chain), economies of scale, dan keunggulan komparatif. Tidak ada negara
yang mampu memproduksi semua barang yang dikonsumsinya. Mereka membutuhkan
negara-negara lain untuk menyediakan barang-barang produksi maupun konsumsi.
Semangat swasembada ini justru
membawa akibat inflasi tidak terkendali. Karena persediaan terbatas, sementara permintaan
terus naik, harga-harga justru melambung tinggi. Contoh paling baru adalah
daging sapi. Pemerintah yang dibutakan swasembada, didukung oleh media-media
nasional seperti Tempo, Kompas, dan Media Indonesia, mencanangkan gerakan
swasembada daging sapi. Jika persediaan sapi mencapai 14juta ekor, impor sapi
hidup dan daging sapi dihentikan. Setiap provinsi diberi target. Peraturan
dengan niat mulia ini berujung bencana. Harga daging sapi naik tak terkendali.
Selama 3 bulan berturut-turut harga daging sapi berkisar di angka Rp 120-150
ribu per kilogram. Padahal stok sapi hidup dalam negeri sudah melebih 14 juta
ekor. Media-media pendukung pemerintah pun sibuk berteriak-teriak soal mafia
sapi. Padahal penyebabnya sederhana saja.
Daerah-daerah yang diberi
target populasi sapi ikut menghitung jumlah sapi pembajak sawah dan sapi perah,
karena tidak ada aturan yang jelas mengenai perbedaan sapi pembajak, sapi
perah, dan sapi pedaging. Pengimpor sapi bakalan terikat aturan untuk
menggemukkan anakan sapi selama 120 hari sebelum dijual ke pasar. Anakan sapi
ini juga dihitung oleh petugas sensus sapi sebagai stok sapi pedaging lokal.
Pemilik sapi-sapi pedaging di pelosok-pelosok desa juga tidak bisa menjual
sapi-sapi yang mereka ternakkan karena sudah terikat perjanjian untuk menjual
hewan ternak mereka saat Idul Adha. Dengan kata lain: stok sapi hidup banyak,
tapi mayoritas tidak bisa disembelih dan belum layak dijual. Mafia sapi yang
selalu diteriakkan media tidak lebih dari peternak UKM yang terikat aturan
penggemukan dan waktu Idul Adha, plus peternak sapi perah.
Penerapan kedaulatan yang
berlebihan tampak dalam kasus eksekusi mati terdakwa narkoba. Media-media besar
yang saya sebutkan di atas meneriakkan persetujuan. Segala justifikasi dibuat
oleh pendukukng eksekusi mati, mulai dari kedaulatan hukum hingga harga diri
bangsa. Belasan terdakwa pun dieksekusi mati. Publik berbahagia, hingga tiba
saatnya sejumlah TKI dihukum penggal di Arab Saudi. Pemerintah dan media yang
tidak punya landasan moral untuk menunda proses eksekusi menutupi kasus ini.
Pemerintah segera membayar uang diyat Rp 26 Milyar. Itu baru satu orang. Masih
ada puluhan TKI dan TKW yang ditahan di Arab Saudi karena pembunuhan.
Pemerintah harus menyediakan uang diyat untuk membebaskan mereka semua, dengan
tarif minimal Rp 26 Milyar per orang.
Nasionalisme itu lebih mahal
daripada nilai impor beras dan kedelai digabung. Darimana Pemerintah dapat dana
untuk membayar diyat? Dari pajak kita semua, dan hutang. So much for the nationalism.
Komentar