Langsung ke konten utama

Inflasi vs Investasi



Salah satu ciri investasi adalah ketidakpastian yang menyertainya. Kita tidak tahu kapan suatu instrumen investasi (properti, reksadana, saham, forex) akan naik atau turun. Kita tidak tahu seberapa banyak kenaikan atau penurunannya. Kita tidak tahu apakah investasi tersebut bisa naik lagi atau malah turun. Dan berjuta ketidak pastiannya.

Bahkan investasi paling aman sekalipun nilainya bisa turun. Rumah yang dibeli tahun lalu senilai 200 juta rupiah harganya bisa turun ke 150 juta karena rusak. Saham Astra (ASII) yang dibeli seharga 7600 di Juli 2011 harganya turun ke 6500 tepat setahun kemudian. Deposito di Bank bisa hangus kalau Bank nya bangkrut dan tidak ikut LPS. Nilai emas bisa turun ke 470ribu per gram, apalagi kalau rupiah menguat, bisa lebih dalam penurunan emas. Semakin besar potensi keuntungan yang mungkin dihasilkan, semakin besar pula ketidak pastian yang menyertainya.

Jadi, haruskah kita berhenti berinvestasi dan menaruh uang di balik bantal? Tentu saja tidak. Ingat ada satu hal yang pasti mengancam nilai uang kita, yaitu Inflasi.

Negara kita, Republik Indonesia tercinta ini, adalah negara yang sedang tumbuh dan berkembang dengan pesat. Indonesia sedang beranjak dari negara miskin yang tercabik rezim Suharto ke negara maju. Industri, perdagangan, dan investasi baru marak beroperasi di Indonesia. Semakin maju dan cepat pertumbuhan ekonomi suatu negara, semakin tinggi tingkat inflasinya (kecuali negara sedang krisis hutang). Jika kita nekat menyimpan dana di tabungan saja, hampir pasti nilainya segera berkurang termakan inflasi.

Hitung saja. Inflasi setahun paling kecil 4.6%. Bunga deposito setelah pajak 4.8%. Dana kita hanya tumbuh 0.2%. Bila inflasi naik ke 5% saja, nilai uang kita menyusut 0.2% dalam setahun. Kalau niatnya hanya buat dana darurat ya tidak apa-apa. Tapi kalau buat dana sekolah anak, dana beli rumah 10 tahun lagi, kerugian 0.2% jelas terasa sekali. Makanya kita perlu berinvestasi.

Lantas, investasi apakah yang sesuai buat kita? Bagaimana menentukan keranjang investasi kita?

Pertama: pastikan kita punya tabungan dana darurat senilai 6 kali biaya hidup. Misal kebutuhan hidup saya (makan+kos+pulsa+majalah) sebulan 750ribu, maka saya harus punya tabungan senilai 4.5 juta kalau mau berinvestasi. Tabungan saja 7 juta, berarti saya punya 2.5 juta untuk diinvestasikan.

Kedua: tentukan tujuan investasi dari dana yang tersedia. Mau saya apakan uang 2.5 juta itu? Misal saya ingin memakainya untuk membeli laptop prosesor terbaru 2 tahun lagi. Apakah cukup dengan uang segitu? Tentu tidak. Harga laptop lokal baru sekitar 6 jutaan. Berarti saya harus menginvestasikan dana itu ke instrumen yang mampu memberi imbal hasil 200% dalam 2 tahun.

Pilihan ada 2, yaitu forex dimana saya harus rajin memainkannya setiap hari atau dimasukkan ke saham yang bisa didiamkan. Karena saham lebih aman, saya masukkan saja ke saham indofarma atau krakatau steel yang masih murah,BUMN dan punya potensi kenaikan dalam 2 tahun. Apakah dana saya pasti tumbuh? Bisa ya atau tidak. Banyak hal yang terjadi dalam 2 tahun. Kalau suatu saat teroris menyasar pabrik-pabrik mereka bisa saja harga saham mereka turun hingga separuh. Kalau permintaan parasetamol atau baja lembaran naik tajam dalam 2 tahun ini, bisa saja nilai uang saya naik melebihi target. Bonus: saya masih dapat dividen tahunan (BUMN gitu loh).

Saya punya pilihan untuk memasukkan dana saya ke reksadana pasar uang atau pendapatan tetap yang lebih aman, tapi potensi kenaikan harganya Cuma 4-8% setahun. Rasa aman yang diberikan harus dibayar dengan kecilnya imbal hasil yang didapat.

Ketiga: rajin mereview. Jangan malas mengecek performa investasi tiap tahun. Misal pabrik baru indofarma ternyata gagal memproduksi parasetamol, saya akan segera mengalihkannya ke saham lain. Kalbe misalnya. Jangan keburu senang kalau nilai portofolio meroket melampaui target, dan jangan panik kalau nilainya menukik tajam. Pelajari kenapa nilai portofolio bisa naik/turun dengan cepat.

Keempat: Disiplin. Kalau memutuskan pakai sistem DCA (setor tiap bulan) jangan sekali-kali lupa menyisihkan dana untuk investasi tiap bulan. Pay yourself first. Ingatlah dana investasi itu kelak kita juga yang menikmati.

Tidak ada yang pasti dalam berinvestasi. Bisa saja nilai investasi kita naik atau turun dalam 5 tahun masa investasinya. Makanya kita perlu menyelidiki instrumen investasi yang akan kita pakai.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bagus Serap Air

    Konsekuensi dari tinggal di kamar kos dekat pohon besar adalah kamar yang lembab. Begitu pula dengan kamar saya. Tepat di depan kamar menjulang pohon mangga. Kaum tetumbuhan setiap malam rajin mengeluarkan karbon dioksida dan uap air sepanjang hari. Tidak heran kamar saya menjadi lembab, rentan jamur, baju dan buku terancam lapuk.     Untuk itulah saya memerlukan desiccants alias penyerap lembab yang dapat menyerap uap air dengan kuat. Saya pun mencoba Bagus Serap Air varian 450 ml sekali pakai. Bahan Aktif yang digunakan ialah butiran kalsium klorida (CaCl). Hasilnya? Dalam waktu 30 hari satu wadah penuh terisi cairan air dan garam yang berasal dari kelembaban di kamar saya.

Teh Tarik

Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, minuman bernama teh tarik ini bisa dibilang barang baru. Minuman yang berasal dari campuran teh hitam dengan susu ini baru dikenal awal tahun 200an, saat beberapa restoran menawarkan menu-menu ala negeri jiran, terutama Malaysia dan Singapura. Teh tarik biasa disajikan bersama roti bakar dan wafel di restoran-restoran ini.     Teh tarik sering rancu diartikan sebagai teh susu. Walau benar sebagian, ada perbedaan kecil antara teh tarik dan teh susu. Teh tarik adalah teh susu yang dituang bolak-balik di antara dua gelas besar sehingga menghasilkan cita rasa yang khas. Teh susu yang biasa disajikan di booth-booth berbagai merek teh biasanya hanya teh hitam dicampur susu yang dikocok beberapa saat dengan es batu.

Istilah Kuliah : Share Swap (Tukar Saham)

Beberapa minggu yang lalu bursa saham dihebohkan oleh kegiatan share swap yang dilakukan Telkom (melalui anak perusahaannya, Mitratel) dengan Tower Bersama Infrastructure (TBIG). TLKM akan menukar 49% kepemilikannya di Mitratel dengan kepemilikan 5.9% atas TBIG. Detailnya: TLKM (pasca transaksi) punya 5.9% hak kepemilikan atas TBIG, sedangkan TBIG punya 49% kepemilikan di Mitratel. TLKM menyerahkan kepemilikan atas 49% saham Mitratel dengan kepemilikan atas 5.9% saham TBIG.