Melihat kesuksesan PolyGlu di
Bangladesh, saya jadi berpikir, mungkinkah hal yang sama bisa dilakukan di
Indonesia? Atau di proyek-proyek sosial lain? Selama ini proyek bantuan sosial
kurang sustainable karena masyarakat
yang jadi sasaran tidak dilibatkan. Pemberi bantuan (LSM & Pemerintah)
merasa sebagai pihak yang lebih tahu dan lebih tinggi, menganggap penerima
bantuan sebagai pihak pasif.
Jika memakai pendekatan bisnis,
pihak sekitar ikut dilibatkan. Mereka harus membayar, entah dengan uang, hasil
pertanian, atau waktu untuk mendapatkan bantuan. Pemberi bantuan bertanggung
jawab memberi penjelasan bahwa pertukaran ini jauh lebih murah dan bermanfaat
bagi penerima bantuan atau masyarakat dibanding saat belum ada bantuan. Bahkan
jika fasilitas fisik sudah terbangun, penduduk sekitar bisa diberdayakan untuk
menyebarkan manfaat bantuan tersebut.
Ambil contoh pembangunan kilang
penyulingan minyak jarak yang gagal total. Pemerintah, LSM dan perusahaan hanya
menyerahkan alat penyulingan jarak dan bibit tanaman jarak, melakukan penanaman
simbolis, lalu pergi begitu saja. Mereka alpa memberi penyuluhan penanaman
jarak, melatih penggunaan kilang pengolah minyak jarak, mengajari cara
memasarkan minyak jarak, memanfaatkan minyak untuk konsumsi lain, dan mengemas
dalam wadah yang menarik konsumen. Jika saja mereka mau meluangkan waktu lebih
banyak seperti yang dilakukan PolyGlu di Bangladesh, niscaya minyak jarak akan
lebih banyak digunakan, dikenal masyarakat, dan bantuan mereka tidak sia-sia.
Tapi karena merek enggan melakukan aksi keberlanjutannya, kilang-kilang minyak
jarak tersebut berkarat dan terlantar. Pohon-pohon jarak hanya ditanam untuk
peneduh tanpa dipanen. Bantuan mereka menjadi sia-sia.
Unilever sudah melakukan hal
yang mirip dengan PolyGlu. Mereka memberdayakan petani kedelai agar bersedia
menanam kedelai hitam untuk kecap Bango. Dengan rayuan “berapapun hasilnya
pasti dibeli”, penyuluhan berkala dan kendali kualitas berkelanjutan, Unilever
berhasil memberdayakan puluhan petani kedelai. Sebelum Unilever masuk,
petani-petani tersebut belum mengenal standar kualitas mutu, budidaya kedelai
yang tepat, ataupun memilih varietas yang paling menguntungkan. Mereka yang
tadinya tidak tahu varietas kedelai yang pas untuk tahu, tempe, tauco, kecap
atau natto, sekarang bisa memilih menanam kedelai yang sesuai dengan target
pemasaran mereka.
Saya bermimpi suatu saat Semen
Indonesia atau Holcim bersedia meramu semen berbahan baku lumpur Lapindo,
dengan tenaga kerja orang-orang yang rumahnya disapu lumpur. Mungkin pendapatan
kedua perusahaan tersebut tidak sebesar jualan semen konvensional, tapi dengan
mengolah lumpur menjadi semen atau batako dan memasarkannya sebagai bahan
bangunan anti gempa di daerah pantai selatan Jawa kedua perusahaan tersebut
bisa mendapat publisitas yang bagus. Mungkin saat ini belum bisa, karena baik
Semen Indonesia maupun Holcim belum punya paten tekonolgi untuk mengekstrak
garam dari lumpur. Tapi jika mereka bisa menarik perhatian investor dari
Tiongkok atau peneliti Jepang, mungkin mereka bisa saja mendirikan pabrik semen
dan batako di Sidoarjo sana. Semoga terkabul.
Komentar