sumber: mediaofindonesia.blogspot.com |
Sejak tahun 2000, saat masih
duduk di bangku Sekolah Dasar, keluarga kami sudah berlangganan Intisari. Saat itu
Intisari adalah satu-satunya majalah yang memberi pengetahuan sains dengan cakupan
luas, mulai dari flora, fauna, bahasa, perilaku hingga teknologi. Nyaris tidak
ada pesaingnya. Belum ada National Geographic, Reader’s Digest, atau internet. Kalaupun
ada, belum bisa masuk ke kota kecil di Jawa. Jika ingin memperoleh informasi
tentang sains yang agak sophisticated, Intisari
lah satu-satunya sumber.
Tapi itu semu berubah saat saya
menginjak SMA. Di tahun itu, Google melantai di bursa efek Nasdaq. Untuk pertama
kalinya pula, ada warung internet di kota tetangga,di Kantor Pos Magelang. Enam bulan kemudian,
warnet pertama dibuka di Temanggung. Orang semakin mudah memperoleh informasi. Di
sisi lain, majalah-majalah sejenis Intisari yang saya sebutkan di atas, mulai
masuk Temanggung dan menjadi pesaing serius. Pelan-pelan, pembaca setia mulai
meninggalkan Intisari, beralih ke internet dan National Geographic. Walau demikian,
kami masih tetap berlangganan intisari. Alasannya: pertama untuk memberi
penghasilan tambahan kepada loper koran langganan, kedua karena isinya masih
relevan dan sulit ditemui di media lain.
Keluarga kami akhirnya benar-benar
meninggalkan Intisari di tahun 2012. Kami merasa isinya sudah kurang menarik
dibandingkan majalah lain. Informasi dan berita-berita di dalamnya bisa diperoleh
dengan mudah berkat kehadiran smartphone.
Harganya pun semakin mahal, padahal beberapa kafe dan perpustakaan daerah
menyediakan Intisari gratis (lebih baik pinjam dibandingkan beli). Dan yang paling
penting, Intisari kehilangan greget yang membuat pembaca bergegas membelinya
saat edisi terbaru terbit. Dibanding majalah seperti Tempo atau Femina, Intisari
mulai kehilangan relevansinya.
Sekarang saat saya membaca-baca
lagi Intisari edisi tahun 2000 dan 2001, saya temukan bahwa informasi sains yang
disediakan saat itu sudah kuno untuk ukuran tahun 2015. Tapi saya juga
menemukan bahwa cerita kriminal, info flora dan fauna masihlah memberi
pencerahan. Di Intisari edisi lama, cerita kriminal adalah salah satu faktor
kenapa kami setia membeli majalah ini. Di Intisari edisi dekade 2010an, cerita
kriminal sudah semakin tersebar. Cerita yang disajikan Intisari pun terasa kuno
karena sudah pernah dibaca di media lain atau ditayangkan televisi.
Intisari edisi awal 2000an terasa
lebih bernyawa, lebih personal, entah karena kertas buram yang digunakan atau
kesederhanaan kata-kata yang dipakai. Intisari edisi dekade 2010an terasa lebih
dingin, jumlah halamannya lebih sedikit, dan panjang satu artikel pun lebih
pendek. Kalau dulu satu tulisan bisa sepanjang seribuan kata atau 8 halaman, di
Intisari sekarang paling panjang cuma 500an kata atau 5 halaman.
sumber: mediaofindonesia.blogspot.com |
Intisari saat ini mungkin sudah
kalah bersaing, tersaingi oleh kebaruan informasi dari jurnal-jurnal berbahsa
Inggris. Sejumlah perpustakaan sekarang lebih suka mengimpor langsung majalah
sains dari negeri asalnya. Penulis dan editor Intisari sudah berupaya sekuat
tenaga memberi informasi dan tulisan yang menarik untuk menjaring pembaca baru.
Pelan-pelan, hegemoni Intisari mulai tergeser oleh smartphone. Mungkin sudah saatnya Intisari tutup, atau menggeser
fokus pasarnya. Alangkah baiknya jika Intisari berhenti mencampur sains dan
pseudosains dalam satu majalah sekaligus. Intisari bisa mencoba resep Reader’s
Digest yang menawarkan banyak kuis dan TTS, atau menjadi majalah sains murni
ala NewScience, atau mencoba menjadi majalah sains untuk pemula seperti yang pernah
dilakukannya dulu. Atau ia bisa memilih untuk menjadi majalah full-digital, yang hanya didistribusikan
lewat tablet, smartphone dan desktop.
Bila Intisari memilih untuk berhenti terbit, maka ia bisa menggabungkan diri dengan
majalah lain di Kelompok Kompas Gramedia, menjadi sebagian kecil kolom atau
tulisan di Kompas atau InStyle.
Komentar