Ramadhan berakhir, tibalah Lebaran alias Idul
Fitri. Seusai bersalaman saling meminta maaf, muncullah pertanyaan paling
mengesalkan, yaitu “kapan kawin?’. Mulai dari nenek, tante, hingga sepupu
menanyakan hal itu. Saat saya menunjukkan betapa sengsaranya kehidupan mereka
pasca menikah, well, mereka menjawab sudah takdir.
Kembali ke pertanyaan “kapan kawin/nikah?”,
ada satu pola yang saya temui. Hampir semua orang, ±94% orang yang menanyakan
kapan kawin punya kehidupan pernikahan yang menyedihkan. Pasangan yang rese,
jarang pulang ke rumah, enggan ikut mengurus rumah dan anak, mertua galak, anak
yang sulit bergaul, dan lain-lain. Keluarga yang tampaknya sering berdebat tapi
kehidupan rumah tangganya stabil dan harmonis justru lebih tertarik menanyakan
karir, spesifiknya “kapan naik pangkat?”, atau rencana kehidupan selanjutnya
(kapan ambil sertifikasi? Kapan ikut seminar/diklat/pelatihan? Kapan liburan?
Kapan beli rumah?). Kelompok ke dua ini tidak pernah bertanya “kapan kawin?’
Karena perbedaan yang sangat mencolok ini,
saya memutuskan untuk mengobrol secara acak dengan sampel dari kedua kelompok.
Saya penasaran, apa yang ada di pikiran mereka? Apa yang membedakan kelompok
pertama dengan kelompok kedua?
Sampel dari kelompok pertama menganggap bahwa
pernikahan adalah kodrat manusia, yang harus dijalani untuk meneruskan
keturunan dan membuat orang tua berbahagia. Bagi mereka, menikah dengan siapa
pun tidak masalah asalkan menikah. Suami dan orang tua wajib dihormati. Masalah
rumah tangga cenderung dibiarkan hingga menjadi bara dalam sekam. Komunikasi
antara suami istri tidak sampai 4 jam sehari. Mereka percaya Allah akan menjaga
keutuhan pernikahan mereka. Mereka tidak merasa perlu berbuat sesuatu yang
lebih untuk pasangan mereka. Masing-masing merasa sudah melakukan tugasnya, dan
tidak ada alasan berusaha lebih. Bila ada permasalahan, mereka cenderung diam,
percaya bahwa waktu akan menyelesaikan semuanya. Yang menyedihkan, pandangan
mata mereka kosong saat bercerita tentang rumah tangga dan kehidupan mereka (playing Dead Inside by Muse).
Sampel dari kelompok kedua lebih moderat.
Mereka menganggap pernikahan adalah kesempatan berkembang menjadi manusia
seutuhnya. Mereka terlihat sering berdebat/bertengkar karena mereka tidak takut
mengungkapkan pendapat mereka mengenai pasangan atau keluarga mertua. Mereka
punya pendapat tersendiri mengenai peran agama dan masyarakat dalam institusi
pernikahan. Bagi mereka, single/jomblo lebih baik dibanding hidup seperti
neraka bersama pasangan yang tidak cocok lagi. Pasangan dari kelompok kedua ini
seperti sahabat yang menikah, dibanding relasi tuan-hamba dari kelompok
pertama. Pasangan dari kelompok kedua lebih sering khawatir tentang uang untuk
membiayai pendidikan anak-anaknya, tapi mereka terbuka membicarakannya dan
aktif mengeksplorasi berbagai pilihan. Saat diwawancarai, mereka cenderung
bersemangat menceritakan pasangan, keluarga, dan pilihan karir mereka. No hard feelings, only sense of attachment.
Saya tidak hendak membuat kesimpulan, karena
tidak ingin terdengar menghakimi. Bagi saya, pernikahan adalah sebuah pilihan,
pilihan yang dibuat dengan sadar setelah mempertimbangkan berbagai kelebihan
dan kekurangannya. Setelah membaca obserbasi singkat di atas, saya ingin
teman-teman membayangkan, kehidupan seperti apa yang ingin dijalani? Pernikahan
seperti apa yang diinginkan? Apakah yang sesuai tekanan masyarakat, agama, atau
orangtua? Atau yang sesuai dengan kebutuhan kita?
Komentar