Berbekal tiket seharga Rp 30ribu, es teh,
pizza, dan tisu, saya memantapkan hati untuk menonton Siti. Dalam satu ruangan
berkapasitas 200 penonton, cuma ada 10 orang yang menonton Siti. Layar sebelah
yang menayangkan Surat Dari Praha agak lebih baik, ada 15 orang yang menonton,
walau masih kalah jauh dibanding Single yang siang itu berhasil menarik puluhan
anak SMP, atau Atlantos yang ditonton tiga puluhan anak TK beserta guru mereka.
Siti sanggup menyajikan pesan yang dalam
melalui dialog-dialog yang diucapkan wajar tapi terasa menusuk, dan interaksi
antar tokohnya. Akibat suami yang lumpuh total setelah kecelakaan, Siti harus
menanggung biaya hidup keluarganya plus dituntut melunasi hutang suaminya.
Ketika ia memutuskan menjadi pramuria karaoke tepi pantai Parangtritis,
suaminya mogok bicara. Usaha Siti berjualan peyek jingking hanya menghasilkan
Rp 15ribu/hari. Putus asa, ia meminjam uang ke kenalan lama yang sudah lama
naksir dirinya.
Bagi teman saya, kekuatan utama film ini
terletak pada banyaknya cowok-cowok tampan yang bertebaran. Bagi saya, kekuatan
utama Siti terletak pada gambar-gambar hitam putih yang sangat artistik, musik
dan tata suara yang menyentuh, serta diaolog yang tajam tapi nyata. Semua orang
di Jogja mengenal Siti-Siti lain yang biasa ditemui di pantai Baron, Krakal,
Parangkusumo, Kukup, Depok, atau di kawasan wisata Kaliurang. Kami semua tahu
kerasnya kehidupan mereka. Tapi tidak pernah saya merasa tertampar seperti saat
menonton Siti. Mereka ada di sekita kita, mereka butuh pertolongan, tapi kita
memilih mengamati mereka dari jauh karena taku menjadi kotor, atau terlalu
sibuk dengan gaya hidup kita, sehingga alpa memperhatikan Siti- Siti lain.
Film ini terlalu nyata, sangat realistis
(saya mengesampingkan fakta bahwa Siti, suaminya, dan selingkuhannya tampak
seperti supermodel nyasar di Parangtritis). Saking riilnya, tidak ada satu pun
anggota keluarga dan tetangga saya yang berminat menontn Siti. Kedua orang tua saya
saja memilih menonton Surat Dari Praha.
Siti sesuai bagi penyuka cerita kehidupan.
Walaupun alurnya mengalir lambat, penonton tetap bisa menikmati dengan utuh.
Sinematografi dan dialognya sungguh luar biasa. Sangat layak menjadi film
terbaik 2015.
Komentar