Sebuah virus yang lebih mematikan dari Ebola
dan lebih menular dari SARS menyerang penduduk bumi. Belum ada vaksinnya.
Penduduk dunia yang tewas karena virus bertambah dengan cepat dari hari ke
hari. Harapan terakhir ada di pundak virolog Dr. Rachel Scott dan awak kapal USS
Nathan James. Mereka berjuang mencari vaksin virus tersebut agar dapat segera
diberikan kepada orang-orang yang terinfeksi.
The Last Ship adalah tontonan yang tepat bagi
wanita pencandu ketegangan tapi tidak ingin kehilangan hiburan wajah-wajah
tampan. Marinir-marini kapal USS Nathan James adalah gambaran ideal pasukan
angkatan laut. Taktis, kuat, gesit, lincah, serba bisa, dan lumayan punya rasa
humor. Bagi para wanita, inilah salah satu serial yang memanjakan mata.
Dua episode pertama dari season pertama
memang membosankan, untungnya aktor-aktor tampan dan sains berhasil
menyelamatkannya. Nyaris tidak ada hal yang berarti terjadi di dua episode
pertama. Barulah di episode 3 sampai 10 terasa kekuatan cerita The Last Ship.
Kekuatan serial televisi yang ditayangkan TNT
ini terletak pada konflik, ketegangan, dan sinematografi yang bersih, khas
Michael Bay yang menjadi produser eksekutif. Ceritanya sendiri sebetulnya biasa
dan mudah ditebak. Penonton tidak akan terlalu penasaran menonton episode
lanjutan The Last Ship (kecuali sedang berada di masa subur dan butuh materi
khayalan). Kelekatannya rendah.
Dibanding serial post-apocalyptic thriller lain semacam The Man In The High Castle
atau Power, The Last Ship tidak terlalu menonjol atau menarik. Tapi sebagai
tontonan selingan yang enak dinikmati sambil makan nasi atau ngemil mie goreng,
serial ini bisa dibilang cukup. The Last Ship lebih sesuai dinikmati lewat
Netflix (bagi pengguna non-telkom) atau DVD, karena jika menonton lewat
televisi kabel kita mudah lupa cerita episode terdahulu
Komentar