Masa lalu selalu aktual. Jika di Indonesia krisis di tahun 1998 terus menerus diteliti, dikaji, didiskusikan, dan dibahas, maka di Eropa dan Amerika krisis tahun 2008 lah yang mendapat perlakuan sama. Sudah puluhan buku dan penelitian dirilis untuk menunjukkan berbagai segi dari krisis tersebut, mulai dari penyebab terjadinya, kenapa dampaknya sangat luas dan menghancurkan, kebijakan pemerintah untuk menanganinya, efek sampingnya bagi industri keuangan dan masyarakat, serta masih banyak hal lainnya.
Buku ini tidak hendak membahas krisis 1998 maupun 2008. Kevin Rodgers sang penulis memfokuskan perhatiannya pada satu hal: bagaimana teknologi memberi ruang untuk terjadinya krisis yang semakin berdampak luas dari waktu ke waktu. Meminjam istilah Tim Harford dalam Messy: teknologi meniadakan kemampuan manusia mengatasi masalah-masalah sederhana, sehingga membuat nya tidak berdaya saat menghadapi masalah besar.
Pasar yang menjadi pusat perhatian dalam buku ini adalah pasar uang (money market). Berbeda dengan pasar saham dan pasar obligasi (bahasa regulator: pasar modal/capital market) yang ada jam buka dan jam tutupnya, pasar uang atau pasar forex (foreign exchange) buka terus selama 24/7. Fungsi utama pasar ini adalah menyediakan likuiditas (istilah pasarnya: uang tunai) untuk memperlancar berbagai jenis transaksi. Buku ini tidak hendak membahas krisis 1998 maupun 2008. Kevin Rodgers sang penulis memfokuskan perhatiannya pada satu hal: bagaimana teknologi memberi ruang untuk terjadinya krisis yang semakin berdampak luas dari waktu ke waktu. Meminjam istilah Tim Harford dalam Messy: teknologi meniadakan kemampuan manusia mengatasi masalah-masalah sederhana, sehingga membuat nya tidak berdaya saat menghadapi masalah besar.
Pialang di pasar forex mendapatkan untung dari selisih harga antar mata uang di bank atau bursa yang berbeda. Sebelum era digital seperti saat ini, pialang mendapatkan informasi dengan menghubungi pedagang (yang membutuhkan uang tunai dalam mata uang tertentu) dan bank (yang menyediakan uang tunai tersebut).
Pelan tapi pasti, dipicu oleh persaingan antar bank (Kevin Rodgers bekerja di Deutsche Bank, institusi yang sama di pusat cerita The Big Short nya Michael Lewis), teknologi mulai memasuki operasional pasar uang. Mulanya hanya perangkat lunak untuk menunjukkan selisih harga jual - harga beli (bid-ask spread).
Lama-kelamaan, hampir semua aspek pekerjaan menggunakan algoritma pada perangkat lunak. Pemeringkatan obligasi dan turunannya, seperti derivatif berupa credit default swap (CDS) dan credit default obligation (CDO) yang menggunakan metode Monte Carlo dikerjakan menggunakan perangkat lunak. Robo-trading menjadi kelaziman. Analisis risiko pun dilakukan oleh algoritma. Analisis-analisis lain yang lebih rumit juga lazim menggunakan algoritma. Pelan-pelan, ketergantungan pada perangkat lunak "membunuh" kepekaan manusia/pialang dalam mengantisipasi kedatangan krisis-krisis keuangan.
Rodgers meramu pengalamannya mengembangkan teknologi dalam pasar forex dengan kemampuan bertutur yang runtut dan analogi yang mudah dimengerti. Bahasa yang digunakan relatif mudah dimengerti (setara dengan tulisannya Greg Mankiw di Macroeconomics). Ia menggabungan biografi pengembangan mesin dengan optimisme, kehati-hatian, dan kekhawatiran akan masa depan pasar uang dan manusia-manusia yang setiap hari berjibaku di dalamnya.
Jika kita bosan dicekoki dengan buku-buku krisis yang mengambil contoh pasar modal, tapi ingin tahu apa dampak krisis terhadap pasar uang, Maka buku Why Aren't They Shouting ini patut dibaca. Menurut pendapat saya, buku ini melengkapi The Big Short (Michael Lewis) dan Age of Turbulence (Alan Greenspan). 4 dari 5 bintang
Komentar