Hari Sabtu, 13 Agustus 2011 kemarin saya berkesempaan mencicipi salah satu moda transportasi kota Solo, yaitu Batik Trans Solo dari stasiun Palur. Moda transportasi ini sejenis dengan TransJakarta dan TransJogja, berupa bus yang dilengkapi AC dan tempat duduk empuk yang melaju melintasi kota Solo. Ada dua koridor yang dilayani oleh Batik Trans, yaitu Koridor 1 dan Koridor 2. Keduanya berawal di Stasiun Palur, Karanganyar dan berakhir di Bandara Adisumarmo Solo.
Ketika saya mencoba menaiki transSolo dari stasiun Palur, kesan yang saya tangkap adalah kumuh. Halte bus transSolo di situ kelihatan kotor dan tidak terawat, petugas transSolo pun lebih banyak yang duduk-duduk sambil mengobrol. Tidak ada sosialisasi mengenai rute-rute yang dilewati transSolo di haltenya sekalipun. Berbeda dengan transJogja dan transJakarta dimana tiap haltenya dilengkapi petugas dan fasilitas hiburan seperti koran dan radio untuk menunggu bus lewat.
Sistem karcisnya agak berbeda dengan transJogja dan transJakarta. Kita baru membayar karcis transSolo di atas bus, sehingga tidak memungkinkan kita berputar-putar kota hanya dengan satu tarif. Mesin karcisnya dipasang di dalam bus, dan ada kondektur yang bertugas menariki uang karcis dari para penumpang. Rasanya seperti naik bus Ac biasa, bukan bus trans.
Yang paling mencolok adalah penumpang tidak selalu harus menunggu di halte untuk menaiki transSolo. Mereka bisa saja mencegatnya di tengah jalan dan naik memlalui pintu depan. Begitu pula bila kita ingin turun atau berhenti di suatu halte. Saya pernah harus melompat dari pintu tengah transSolo hanya karena sopirnya merasa terlalu repot untuk meminggirkan bus ke halte. Penumpang lain ada yang harus memanjat pintu tengah untuk menaiki bus karena sopir bus trans tidak bersedia menunggu mereka sampai ke halte.
Halte transSolo ada 2 warna, merah dan biru. Halte merah untuk bus yang menuju ke arah barat, halte biru untuk bus yang menuju ke arah barat. Di beberapa halte yang terletak di keramaian seperti halte UNS atau halte Solo Grand Mall dilengkapi petugas DisHub yang akan menghitung jumlah penumpang yang berada di dalam bus. Terkadang kita bisa bertanya kepada petugas-petugas ini bila ingin mendapatkan informasi lebih lengkap.
Kondektur dan sopir transSolo pun tidak begitu informatif tentang rute dan area yang dilewati bus ini. Mereka cuma menunjukkan rute yang ditempel di salah satu halte dan mempersilakan saya untuk mencatatnya. Tidak diinformasikan situs apa yang harus saya kunjungi untuk mendapatkan informasi lengkap.
Saya tidak mengikuti rute transSolo utuh sampai ke Bandara. Saya cuma berhenti di Carrefour lalu pulang dengan salah satu bus kota. Halte terdekat dengan Carrefour tidak dilengkapi dengan petugas yang bersedia menjelaskan seluk beluk busway.
Kesan yang saya dapat setelah mencoba transSolo adalah : moda transportasi yang bagus dan menjanjikan, sayang pelayanannya amat sangat kurang sekali, minim sosialisasi dan informasi dan haltenya kumuh. Untuk orang solo sendiri mungkin moda transportasi ini sangat membantu mendapatkan kenyamanan, tetapi menurut saya hal itu tidak ditunjang oleh informasi yang memadai.
Ketika saya mencoba menaiki transSolo dari stasiun Palur, kesan yang saya tangkap adalah kumuh. Halte bus transSolo di situ kelihatan kotor dan tidak terawat, petugas transSolo pun lebih banyak yang duduk-duduk sambil mengobrol. Tidak ada sosialisasi mengenai rute-rute yang dilewati transSolo di haltenya sekalipun. Berbeda dengan transJogja dan transJakarta dimana tiap haltenya dilengkapi petugas dan fasilitas hiburan seperti koran dan radio untuk menunggu bus lewat.
Sistem karcisnya agak berbeda dengan transJogja dan transJakarta. Kita baru membayar karcis transSolo di atas bus, sehingga tidak memungkinkan kita berputar-putar kota hanya dengan satu tarif. Mesin karcisnya dipasang di dalam bus, dan ada kondektur yang bertugas menariki uang karcis dari para penumpang. Rasanya seperti naik bus Ac biasa, bukan bus trans.
Yang paling mencolok adalah penumpang tidak selalu harus menunggu di halte untuk menaiki transSolo. Mereka bisa saja mencegatnya di tengah jalan dan naik memlalui pintu depan. Begitu pula bila kita ingin turun atau berhenti di suatu halte. Saya pernah harus melompat dari pintu tengah transSolo hanya karena sopirnya merasa terlalu repot untuk meminggirkan bus ke halte. Penumpang lain ada yang harus memanjat pintu tengah untuk menaiki bus karena sopir bus trans tidak bersedia menunggu mereka sampai ke halte.
Halte transSolo ada 2 warna, merah dan biru. Halte merah untuk bus yang menuju ke arah barat, halte biru untuk bus yang menuju ke arah barat. Di beberapa halte yang terletak di keramaian seperti halte UNS atau halte Solo Grand Mall dilengkapi petugas DisHub yang akan menghitung jumlah penumpang yang berada di dalam bus. Terkadang kita bisa bertanya kepada petugas-petugas ini bila ingin mendapatkan informasi lebih lengkap.
Kondektur dan sopir transSolo pun tidak begitu informatif tentang rute dan area yang dilewati bus ini. Mereka cuma menunjukkan rute yang ditempel di salah satu halte dan mempersilakan saya untuk mencatatnya. Tidak diinformasikan situs apa yang harus saya kunjungi untuk mendapatkan informasi lengkap.
Saya tidak mengikuti rute transSolo utuh sampai ke Bandara. Saya cuma berhenti di Carrefour lalu pulang dengan salah satu bus kota. Halte terdekat dengan Carrefour tidak dilengkapi dengan petugas yang bersedia menjelaskan seluk beluk busway.
Kesan yang saya dapat setelah mencoba transSolo adalah : moda transportasi yang bagus dan menjanjikan, sayang pelayanannya amat sangat kurang sekali, minim sosialisasi dan informasi dan haltenya kumuh. Untuk orang solo sendiri mungkin moda transportasi ini sangat membantu mendapatkan kenyamanan, tetapi menurut saya hal itu tidak ditunjang oleh informasi yang memadai.
Komentar