Entah kenapa media Indonesia suka
sekali kata “swasembada”, terutama “swasembada pangan”. Padahal abad 21 adalah
zamannya kolaborasi. Apa gunanya swasembada kalau harga komoditas justru mahal
dan garis kemiskinan (bukan angka kemiskinan lho) justru menurun. Yang miskin
semakin miskin dan kalangan menengah justru jadi miskin.
Media rajin mengesankan swasembada
bisa membuat rakyat semakin makmur dan menghilangkan impor. Mungkin mereka lupa
kalau kebutuhan 230 juta rakyat Indonesia mustahil dipenuhi dari swasembada.
Lagipula, kenapa takut impor? Impor dan ekspor alias perdagangan antar negara bisa
meningkatkan hubungan diplomatik dua negara dan keduanya sama-sama diuntungkan.
Atau dihubungkan dengan neraca berjalan Indonesia yang negatif? Terima saja.
Kebutuhan kita besar karena jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa dan
kebangkitan kelas menengah, sementara industri dalam negeri tidak mampu
memproduksi semua kebutuhan domestik.
Beras saja masih impor dari Thailand
dan Vietnam. Kenapa? Lahan subur di Jawa berubah menjadi perumahan dan pabrik.
Sandang? Impor dari China. Apa pabrik tekstil kita gulung tikar? Ya, pabrik
tekstil yang mismanajemen, tidak menghasilkan produk baru, dan kualitas
produknya rendah memang gulung tikar.
Tapi pabrik tekstil yang rajin baca
peluang dan menyesuaikan produknya dengan selera pasar mampu bertahan bahkan
tumbuh. Di Jakarta sana mungkin kita hanya melihat produk impor (kecuali
batik). Tapi di Jawa (Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur) cukup banyak pabrik tekstil
yang bahkan punya butik sendiri. Produk mereka kualitasnya lebih bagus dari made in China. Untuk fashion muslim,
modelnya cenderung klasik tapi bahannya kuat dan mudah dibersihkan. Tapi untuk
swasembada tekstil, jujur saja masih jauh. Gaya hidup masyarakat perkotaan yang
cenderung pada barang branded Eropa
dan kalangan kelas bawah yang lebih mengutamakan harga (padahal bisa saja bulan
depan sudah sobek/rusak) membuat produk tekstil lokal hanya sanggup melayani
kalangan menengah dan industri fashion. Belum harga serat kapas yang mencekik.
Mungkin kita bisa mencoba meningkatkan
kualitas barang unggulan kita seperti sawit, kelapa, kopra, kopi, coklat dengan
membangun industri-industri yang mengolah barang mentah menjadi barang jadi
atau setengah jadi. Sudah banyak perusahaan sawit dan kopi yang memproduksi
barang mentah menjadi barang jadi.
Kita perlu meningkatkan kapabilitas
inovasi kita dalam kelapa, kopra dan coklat. Untuk coklat, kita perlu membeli
lisensi atau mendatangkan chocolatier
dari Eropa. Coklat monggo dari Jogja sudah berhasil melakukannya. Sekarang produk-produk
Coklat Monggo bertebaran di toko oleh-oleh dan Supermarket seantero Jawa.
Beberapa karyawan mereka yang keluar berhasil membangun merk coklat mereka
sendiri dengan inovasi yang berbeda dari Coklat Monggo. Mereka pun mencoba
masuk lewat jalur yang berbeda, misal dengan berjualan online atau masuk melalui minimarket.
So? Tidak usah takut dengan impor. Ada impor pasti ada ekspor (kalau tidak ada ekspor bayarnya pakai apa?). Justru dengan mengimpor barang kita bisa meniru dan memodifikasi suatu produk menjadi lebih baik dan lebih sesuai dengan kebutuhan kita. Cheers :Dv
Komentar