Sekarang sudah tidak zaman lagi
menggaungkan slogan cinta produk Indonesia tanpa disertai kualitas produk lokal
yang bagus. Karya berkualitas prima akan mendatangkan review dan kesan bagus
yang pada gilirannya meningkatkan popularitas dan nilai karya tersebut. Contoh
nyata bisa dilihat di industri penerbitas (sastra & komik), musik dan
tekstil.
Bagaimana dengan industri kosmetik?
Sulit untuk disejajarkan dengan mereka.
Secara kasat mata, popularitas dan keuntungan terbesar diraih oleh merk
mancanegara walaupun harganya (sebagian besar) selangit. Wajar karena
kualitasnya baik. Kosmetik lokal mendominasi volume penjualan. Tapi sulit
dikatakan apa mereka memperoleh margin keuntungan besar.
Untuk divisi riset dan produksi saja,
grup Sariayu sudah disalip L’oreal yang baru tahun lalu meresmikan pabrik
kosmetik dan skincare terbesar di kawasan Asia Tenggara. Berikut beberapa
alasan kenapa merk lokal belum sukses bersaing melawan merk asing.
Pertama, jarang sekali beriklan di
majalah atau situs fashion ternama.
Merk-merk lokal kebanyakan beriklan di majalah-majalah yang harganya kurang
dari 20ribu per eksemplar. Nyaris tidak pernah dilihat model-model di majalah fashion high-end memakai Caring atau Inez. Paling banter PAC.
Kedua, warnanya terlalu ngejreng. Terlalu banyak kilap,
bling-bling, atau shimmer yang
membuat pemakainya seperti hendak pergi ke pesta atau sirkus. Saking banyaknya
bling-bling, perlu usap berkali-kali agar warnanya keluar.
Kemudian lini produknya tidak lengkap.
Merk-merk lokal umumnya hanya menyediakan bedak (padat & tabur), alas
bedak, eyeshadow, dan blush-on. Koleksi terbesarnya adalah
variasi eyeshadow. Jarang dilihat eyeliner, luminous powder, sculpting powder/cream, highlighter, atau concealer lokal yang berkualitas bagus.
Kalaupun ada, biasanya cepat luntur.
Empat, kemasannya kurang kuat dan
mewah. Kalau kemasan sederhana tapi tidak cepat rusak atau lepas engselnya
masih bisa dimaafkan. Tapi kemasan kosmetik merk lokal kebanyakan terlalu
polos, gampang pecah, engselnya cepat rusak, kurang kokoh, dan tidak ada
embossnya. Bandingkan dengan kemasan Estee Lauder atau Maybelline yang menarik
dan kuat. Brand kosmetik Indonesia paling bagus (saat ini), PAC, kemasannya
terlalu polos dan kemasannya kurang kuat. Sama sekali tidak mencerminkan brand kebanggaan Sariayu.
Brand kosmetik lokal tidak ada yang
menawarkan filosofi nilai yang menarik kepada konsumen. Clinique dan Bodyshop
menawarkan nilai “alami”, Maybelline & Max Factor identik dengan “muda” (youth), Kanebo &SK II “Asia dan
kembali ke alam”. Bandingkan dengan Wardah “kosmetik halal” atau Sariayu
“kecantikan khas Indonesia”. Kalaupun harganya sama, konsumen akan memilih merk
manca karena ada ikatan yang ditawarkan.
Keenam, Beauty Advisornya kurang berpengalaman. Beberapa ritel dan
dept.store yang menawarkan baik produk lokal maupun internasional menjadi
saksinya. BA kosmetik dan skincare
dari brand internasional bisa menjelaskan dan mendemonstrasikan dengan detil
keunggulan produknya. Hanya BA dari Sariayu Grup yang sanggup menyamai
keunggulan mereka. Bahkan hanya dengan membeli salah satu produknya pembeli
bisa mendapat makeup ala salon
gratis.
Luasnya segmentasi pasar kosmetik
lokal justru membuat konsumen bingung. Mereka malah ragu apakah merk-merk lokal
sesuai dengan kondisi kulit mereka atau tidak. Akhirnya mereka membeli merk
manca yang memang ditargetkan untuk mereka. Merk-merk lokal lebih suka
menawarkan produknya untuk konsumen remaja hingga paruh baya. Padahal dengan
target market spesifik mereka bisa lebih berhasil. Caring sudah memulai dengan
menargetkan wanita pekerja kantor dan Milennials. Brand seperti Viva lebih baik fokus ke remaja, Wardah ke mahasiswa.
Delapan, harganya terlalu murah akibat
menyasar pangsa pasar menengah ke bawah dan mengejar volume penjualan. Harga
murah mengirimkan sinyal kualitas rendah, yang membuat merk lokal dihindari.
Overdosis parfum/wewangian. Siapapun
yang pernah mencoba merk lokal pasti sadar betapa wanginya bedak tabur atau
lipstik yang dipakai. Kalau kulitnya normal mungkin bisa ditoleransi. Tapi
bagaimana dengan kaum wanita berkulit & berpenciuman sensitif? Mereka bisa
gatal-gatal dan pusing setelah memakai kosmetik merek lokal.
Sepuluh, jarang melakukan repackaging musiman atau tahunan. Sejauh
ini hanya merk Sariayu saja yang rutin mengemas ulang produk-produknya tiap
tahun. Padahal acara peluncuran koleksi kosmetik tahunan ini bisa menarik
perhatian media dan mempromosikan merk lokal.
Kesimpulannya, sebaiknya merk lokal
meningkatkan kesadaran (awareness)
masyarakat terhadap produknya baik dengan promosi, iklan ataupun menjadi
sponsor kegiatan. Kedua, meningkatkan kualitas dan jumlah lini produk agar
konsumen punya pilihan lebih banyak. Kemasan bisa dibuat sedikit lebih kuat,
minimal engselnya tidak cepat lepas dan kemasannya tidak rusak tertindih buku,
karena rata-rata pengguna menghabiskan kosmetik dalam 1-3 bulan. Untuk kosmetik
yang lebih tahan lama seperti eyeshadow
dan blush on kemasannya bisa dibuat
mewah dengan aksen emboss dan
kaligrafi.
Bagaimana menurut anda? Apa yang bisa
dilakukan untuk meningkatkan daya saing merk lokal?
Komentar