image courtesy of money.cnn.com |
Dulu, waktu masih lugu dan polos, belum mengerti
dasar-dasar investasi, saya diajari bahwa lebih untung berinvestasi bila rajin masuk-keluar
bursa berulangkali. Keuntungan kecil tapi ajeg lebih berharga daripada menunggu
saham naik tinggi beberapa tahun kemudian. Untuk menentukan saat masuk dan
keluar dari saham atau reksadana pakai analisa teknikal, karena chart tidak
bisa bohong.
Saya menuruti nasihat itu. 3 bulan pertama memang
mendulang untung, tapi sesudah itu keberuntungan saya habis. Dana saya nyangkut di sejumlah saham “bagus”.
Penentuan waktu masuk-keluar pasar modal tidak lagi berjalan sesuai chart.
Sejak saat itulah saya mulai belajar analisa fundamental
dengan lebih serius. Buku-buku karangan Benjamin Graham, John Bogle, Mohammed
El Erian, Paul Samuelsson, John Maynard Keynes, dan Nassim Taleb saya lahap.
Dan saya tersadar bahwa market timing
(berulang kali masuk keluar bursa pada saat yang “tepat”) itu omong kosong
belaka. Begitu pula dengan idion : informasi tersebar merata di pasar.
Market timing adalah iming-iming yang paling sering
diucapkan pialang/marketing kepada investor dan nasabah. Mereka bilang,”dengan market timing kita bisa memaksimalkan
keuntungan”. Kalau segampang itu menentukan market
timing hanya dengan chart, kenapa tidak masuk bursa sendiri saja? Kenapa
harus menyedot dana investor dan nasabah sebanyak mungkin? Apalagi sampai
berkelit “tidak ada yang tahu pergerakan market” saat investor menanyakan hasil
investasinya yang hilang atau rugi. Padahal investor di awal sudah dijanjikan
keuntungan besar dengan market timing.
Dasar pemikiran market
timing sederhana : beli saham (masuk) saat harga mulai naik dan jual saham
(keluar) saat harga mulai turun. Kedengaran gampang kan? Tapi siapakah pialang
sehingga bisa menentukan kapan saham akan mulai rally (naik terus-terusan) dan kapan ia sudah mencapai harga puncak
atau malah turun?
John Bogle dan Barry Ritholtz sampai-sampai menertawakan
metode market timing nyaris setiap
bulan. Di blog dan kolom surat kabar, mereka menyajikan statistik kerugian dari
investasi yang mencoba market timing
dan keuntungan mereka yang berinvestasi jangka panjang.
Investor yang memakai market
timing menanggung keuntungan yang jauh lebih kecil daripada investor jangka
panjang karena mereka mengeluarkan biaya yang jauh lebih besar untuk jual beli
saham atau reksadana.
Contoh saham XXX yang antara bulan Juli 2010-Juli 2011
mengalami kenaikan harga 30%. Biaya beli di sekuritas A 0.15%, jual 0.25%.
dividen yang dibagikan 2% dari nilai saham. Investor yang mengoleksi saham
dalam setahun memperoleh untung kenaikan harga saham + dividen dikurangi biaya
beli (30%+2%- 0.15%) sebesar 31.85%. Jika ia berniat menjualnya di bulan Juli
2011 ia untung 31.6%.
Sementara investor atau trader yang bolak-balik beli jual saham XXX 8kali setahun (beli 4x,
jual 4x) akan menanggung biaya (0.15+0.25)% x 4 = 1.6%. Keuntungan yang
didapatnya ±30.4%. Swing trader yang
bisa beli-jual 40x setahun biayanya lebih besar lagi, mencapai 8%.
Keuntungannya cuma 24 %.
Ini baru komponen biaya beli-jual. Belum biaya denda
margin kalau beli saham dengan berhutang. Belum biaya koneksi internet untuk
bertransaksi. Belum biaya pulsa telepon untuk berkonsultasi dengan pialang.
Dan baru satu jenis saham untuk satu tahun. Semakin
banyak saham yang dikoleksi dan semakin lama waktu memegangnya semakin besar
keuntungan investor. Kerugian trader
juga semakin besar kalo ia mengoleksi banyak saham sekaligus dengan sistem
masuk-keluar bursa.
Karena besarnya biaya yang harus ditanggung inilah para
mahaguru investasi itu jarang yang berani swing
trading dan memilih untuk menjadi investor pasif (kecuali Keynes dan Taleb
yang memakai swing trading untuk
menguji teori dan hipotesis mereka). Padahal mereka mengelola dana miliaran
dolar/euro/yen, seperti John Bogle di Vanguard, Mohammed El Erian di Pimco atau
Nassim Taleb di Empirica
Komentar