Lottie sudah berusia 33
tahun. Sudah 2 tahun berpacaran dengan Richard. Lottie mengira mereka sudah
mapan dan siap menikah. Pikiran Richard belum sampai ke pelaminan. Mereka putus
karena perbedaan visi. Sesudah putus dengan Richard Lottie bertemu Ben yang
langsung melamarnya ketika mereka berjumpa kembali belasan tahun kemudian.
Fliss, kakak Lottie,
sedang mengurus perceraiannya karena suaminya berselingkuh. Ia tidak ingin
adiknya menikah dengan orang tak dikenal dari masa lalu atau mengulang
kesalahannya dalam mengarungi rumah tangga. Maka ia pun merancang malam
pengantin Lottie berantakan agar pernikahan mereka tidak sah secara hukum.
Kisah kakak beradik di
Wedding Night mengingatkan saya akan Frozen, animasi box-office dari
Disney, tapi posisinya dibalik. Justru sang kakak yang ingin menyelamatkan
adiknya dengan menghalangi bulan madu Lottie dan menyusulnya ke Yunani.
Untuk pengarang sekelas
Sophie Kinsella, Wedding Night terkesan datar dan kurang menggigit. Ada konflik
antar saudara, ada dilema wanita kepala 3 yang kebelet nikah, ada konflik
perusahaan ala WallStreet, tapi semuanya mengalir datar tanpa greget.
Seolah-olah novel ini berangkat dari seuntai cerpen yang dimulurkan menjadi 586
halaman.
Kekuatan utama Wedding
Night ada pada pengembangan karakternya. Tokoh Lottie, Fliss, Richard, dan
Lorcan berkembang semakin dewasa seiring intensnya interaksi dan konflik
mereka. Kita bisa melihatnya melalui dialog-dialog yang lebih berbobot dari
waktu ke waktu.
Wedding Night bukan
novel yang jelek, tapi juga tidak istimewa. Ada secuil kasih sayang orang tua
di sana. Romansa kurang ditonjokan. Konflik batin dan pertentangan mendominasi,
tapi pembaca tidak bisa mengkaitkannya dengan diri pembaca. Nilai 2.5 dari 5.
Komentar