Di tanggal 15 Juni 2015
kemarin Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2015
tentang Penetapan dan Penyimpanan Harga Kebutuhan Pokok dan Barang Penting.
Inti Perpres tersebut adalah melarang menyimpan barang penting di gudang ketika
terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, atau bila terjadi hambatan lalu
lintas perdagangan barang. Pemerintah berhak menetapkan harga acuan barang
penting, wajib menjamin pasokan, dan stabilisasi harga barang kebutuhan pokok
dan barang penting. Barang penting yang dimaksud adalah hasil pertanian (beras,
kedelai, cabaing, bawang merah), hasil industri (gula, minyak goreng, tepung
terigu), hasil peternakan (daging sapi, ayam ras, telur ayam ras), hasil
perikanan (ikan segar bandeng, kembung, tongkol, tuna,cakalang), dan lain-lain
(benih padi, jagung, kedelai, pupuk, elpiji 3 kg, tripleks, semen, besi baja
konstruksi, dan baja ringan).
Sejumlah pertanyaan yang
muncul adalah: bagaimana caranya? Apakah Perpres sebagai payung hukum cukup
untuk melakukan pemaksaan pembongkaran gudang? Apakah pemerintah memikirkan
dampaknya terhadap pedagang, dan jalur distribusi barang?
Pemerintahan Richard Nixon
pernah memberlakukan hal serupa terhadap pembekuan harga barang dan gaji buruh
(freezing wage and prices).
Kebijakannya tersebut justru menyebabkan sejumlah produk dan peluang kerja –
yang harga dan upahnya dikendalikan pemerintah – menghilang di pasar, plus
pabrik-pabrik kekurangan tenaga kerja. Buat apa memproduksi dan menjual barang
jika tidak bisa mendapatkan keuntungan? Lebih baik beralih membuat dan menjual
barang lain yang harganya tidak diatur pemerintah. Buat apa capek-capek kerja
kalau gaji dan upah tidak naik juga? Lebih baik beralih ke sektor informal atau
menjadi wirausaha daripada bekerja di pabrik. Akibatnya: pajak yang dibayarkan
pemerintah menyusut (karena sektor informal jarang/tidak membayar pajak) dan
barang-barang yang harganya diatur pemerintah menghilang di pasaran. Nixon tahu
kebijakan itu salah, tapi karena parlemen dan rakyatnya menyukai ide tersebut,
dibuatlah kebijakan berbuah bencana tersebut.
Ilustrasinya demikian:
pemerintah berhak mengatur harga bawang merah. Saat ini bawang merah sedang
panen raya. Pemerintah menetapkan batas atas harga bawang merah agar harganya
tetap terjangkau dan masyarakat bisa memperolehnya. Kedengaran bagus. Tapi
tunggu dulu. Seorang petani pasti sudah mengeluarkan modal besar untuk budidaya
bawang merah. Ia ingin meraih untung sebesar-besarnya, karena tidak setiap
bulan bisa panen bawang merah. Ia tidak bisa menjual ke pasar karena dihargai
murah (akibat Perpres), pemilik gudang dan tengkulak tidak berani membeli
karena takut digerebek. Apa yang akan dilakukannya?
Kemungkinan pertama: ia menjual
langsung hampir semua bawang merahnya ke pabrik mi instan, pabrik pembuatan
saos siap saji,atau pabrik bumbu instan. Pabrik-pabrik macam ini berani
membayar mahal, punya fasilitas pendingin gudang untuk menjaga keawetan bawang
merah, dan mamou mengolah bawang merah menjadi produk setengah jadi dengan cepat
sehingga mereka tidak terkena Perpres.
Kemungkinan kedua, pak tani
sendiri dengan cepat mengolah semua hasil panennya menjadi produk jadi atau
setengah jadi, misalnya bawang goreng atau bumbu instan. Kemungkinan ketiga:
pak tani tidak menjual hasil panennya ke pasar tapi langsung ke warung-warung
makan atau jaringan restoran seperti KFC, Sederhana, atau Steak n Shake.
Kemungkinan terakhir (yang terpikirkan
oleh saya): si petani menjual sebagian hasil panennya ke pasar, tapi ia enggan
menanam bawang merah lagi, dan beralih menanam buah naga atau okra yang harganya
tidak diatur pemerintah tapi mudah dijual ke supermarket terdekat. Keempat hal
di atas adalah sejumlah kecil dari kemungkinan efek samping tak terduga (unexpected payoff) yang dihadapi
pemerintah bila nekat mengendalikan harga.
Jika melihat kecenderungan
pemerintahan di manapun yang selalu mendahulukan stabilitas pangan sebagai prioritas
kebijakan pertaniannya, dan mengesampingkan sisi supply (penawaran), maka dipastikan kebijakan ini akan terus
dijalankan, walau harga yang harus dibayar adalah dibukanya keran impor bila
persediaan menipis. Saya justru bersimpati terhadap menteri perindustrian,
menteri perdagangan, dan menteri pertanian bila kelak barang-barang yang diatur
dalam Perpres 71/2015 menghilang di pasarang. Presiden yang kurang paham prinsip
dasar perekonomian akan mengamuk dan mengganti mereka, tanpa mau tahu asal usul
permasalahan.
Nixon paham bahwa
pengendalian harga adalah ide buruk, dan saat bencana kelangkaan barang
menerjang ia tidak ragu mengakui dan meminta maaf. Presiden kita saat ini,
sayangnya, lebih suka menyalahkan bawahan-bawahannya sebagai kambing hitam.
Komentar