Bisnis perbankan dikelilingi dengan berbagai risiko yang
berhubungan dengan kehilangan uang dan kehilangan nilai uang. Risiko yang
pertama adalah risiko inflasi. Inflasi adalah berkurangnya nilai uang di masa
depan. Kalau dulu seratus cukup untuk beli wafer, sekarang minimal lima ratus
baru bisa dapat wafer. Kalau bank menyimpan dan meminjamkan uang, ia harus
menanggung berkurangnya nilai uang yang disimpan dan dipinjamkan di masa depan.
Semakin tinggi inflasi, semakin besar penyusutan nilai uang, dan semakin tinggi
juga bunga kredit yang dipatok bank (istilah kerennya: premium inflasi).
Menteri Keuangan bisa saja menentukan target inflasi (yang biasanya dipatok
terlalu rendah), tapi inflasi tidak bisa dikendalikan dan hanya bisa diukur,
biasanya oleh BPS atau lembaga-lembaga riset.
Risiko yang paling terlihat saat meminjamkan uang adalah
: hilangnya uang yang dipinjamkan. Sering kita dengar atau baca, bahwa
penggelapan dana kredit bank terus saja berlangsung dengan cara semakin
kreatif. Pelakunya bisa investor (kakap atau teri sama saja), pegawai bank atau
spesialis pembobol bank. Seolah-olah perusahaannya bagus, bidang yang ditekuni
halal, tapi langsung menghilang setelah menarik semua plafon kreditnya. Di
Indonesia, premium risiko kehilangan ini nilainya cukup besar, antara 3-10%.
Risiko lainnya adalah biaya kesempatan alias opportunity cost. Dibanding menyalurkan
kredit ke masyarakat, bank bisa memilih untuk menempatkan dana tabungan yang
dikumpulkannya ke investasi bebas risiko (kecuali risiko inflasi) seperti SBI
atau SUN. Bunga dari SBI atau SUN ini ±3%. Kelemahannya, bank tidak akan punya
cukup dana untuk ekspansi atau mengambil potensi keuntungan bila menempatkan
dananya di SUN. Kecuali kalau bank tersebut punya lini usaha lain yang
menguntungkan.
Misal inflasi 7%, risiko kehilangan dana 5%, dan bunga
investasi bebas risiko 3%, maka bunga kredit adalah = 7%+5%+3% = 15% (nilai ini
bisa lebih rendah kalau anda nasabah yang selalu melunasi pinjaman tepat waktu
dan punya catatan kredit bagus). Persentase 15% per tahun adalah bunga kredit
yang dikenakan bank kepada anda setiap satu tahun karena bank harus menanggung
ketiga risiko di atas. Kenapa bank memilih untuk menyalurkan kredit ke anda?
Karena kalau cuma ditaruh di SBI yang kuponnya 3% setahun, nilai uang bank akan
menyusut sebesar 7% - 3% = 4% sebab dimakan inflasi.
Untuk menghitung nilai uang sekarang dan masa depan,
rumus yang saya gunakan adalah FV = PV(1+r). Huruf t disini adalah
angka pangkat. Rumus-rumus di bawah merupakan hasil modifikasi dari rumus dasar
ini.
Contoh ilustrasi : bank meminjamkan uang kepada anda
sebesar 10juta selama 2 tahun, inflasi 7%, SBI 3% dan premi risiko 5%, bila
uang 10 juta tersebut hanya disimpan di brankas, maka nilainya 2 tahun kemudian
tinggal
FV = PV / (1+r)² = 10 000 000 / (1+0.07)² = 8 734 387.28
Ada selisih kerugian ±1.23juta (10 juta dikurangi 8.73
juta) yang ditanggung bank kalau dana tersebut disimpan saja.
Kalau dimasukkan ke SBI, nilai penyusutannya tinggal 4%, jadi penyusutan uang milik bank
Kalau dimasukkan ke SBI, nilai penyusutannya tinggal 4%, jadi penyusutan uang milik bank
FV = 10 000 000 / (1+0.04)² = 9 245 562.13
(bank menanggung rugi 700ribuan(10 juta
dikurangi 9.24juta).
Supaya bank bisa menerima pokok pinjaman (10juta) dan
keuntungan ia harus mengenakan bunga kredit minimal 10% (inflasi 7% dan SBI
3%). Tapi dengan cara ini bank tidak akan untung alias impas. Maka mereka
menambahkan premi risiko 5%,sehingga bunga kredit menjadi 15%. Dengan bunga
kredit 15%, 2 tahun kemudian bank akan menerima
FV = 10 000 000 x (1+0.15)2= 13 225 000 , yang nilainya saat ini setara dengan
PV = FV / (1+r)² = 13 225 000 / (1+0.07)² = 11 551 227.18
Ada selisih
nilai 1.5juta yang bisa dihitung sebagai keuntungan pihak bank.
Tidak ikhlas? Silakan meminjam uang ke BPR atau
rentenir
Komentar