Saya akui saya telat membaca
trilogi Hunger Games karya Suzanne Collins. Bukan karena lebih suka menunggu
filmnya, tapi karena terlalu banyak unsur melodrama dan emosi. I’m not good at
handling emotion.
Tokoh utama trilogi ini adalah
Katniss Everdeen, pemanah ulung di negeri khayalan Panem di Distrik 12 yang mengikuti
pertarungan ala gladiator untuk menggantikan adiknya. Di awal cerita, Katniss
digambarkan sebagai gadis kuat dan mandiri tempat keluarga dan teman-temannya
bersandar. Semakin lama ia bertransformasi menjadi lebih kuat lagi dan lebih
emosional (sebetulnya kata neurotik lebih cocok) karena sejumlah pertarungan
hidup-mati yang dilaluinya.
Saat membaca Trilogi Hunger
Games pembaca diajak menikmati naik turunnya emosi Katniss saat menghadapi
ancaman dan peristiwa di hidupnya. Kemarahan, kesedihan, kebingungan,
kelicikan, kelemahan, prasangka dan harapan diaduk jadi satu. Kadang pembaca
diajak mencintai dan mengasihani Katniss, detik berikutnya dibuat sebal dan
marah karena kelakuannya.
Kekuatan utama Suzanne
Collins meramu Trilogi Hunger Games adalah karakterisasinya. Hampir semua tokoh
(termasuk pemeran pembantu dan figuran) punya karakter yang tersirat dalam
dialog dan tersurat dalam diskripsi, tidak mengawang-awang seperti sebagian
karakter dalam Harry Potter. Transformasi dan konflik internal tiap tokoh
terbangun mulus.
Alur kisahnya agak lambat
dan dipercepat saat masuk bagian laga atau peperangan. Diperlukan daya tahan untuk
tidak mengantuk atau tergoda melompat ke bagian akhir saat membaca
bagian-bagian awal ketiga buku ini.
Nilai atau pesan yang ingin
penulis sampaikan, jujur saja, saya sendiri kurang yakin pesan apa yang hendak disampaikan
Suzanne Collins sampai saya menonton versi filmnya dan punya gambaran lebih
jelas tentang Trilogi Hunger Games.
Secara keseluruhan, Trilogi
Hunger Games saya nilai 7 (dari 10). Good books, less humor, too emotional,
less witty,not addictive but great character development.
Komentar