Langsung ke konten utama

Sirkus Wall Street dan Sepakbola

Menonton sirkus lapangan bola tak ubahnya melihat sirkus di Wall Street. Pelatih klub dan CEO acap berganti. Kepercayaan suporter dan dukungan investor meroket setelah pergantian tampuk kekuasaan dan langsung menukik saat pimpinan baru gagal memenuhi harapan tidak realistis suporter atau investor.

Pimpinan di Wall Street adalah CEO, sedangkan di klub sepakbola adalah pelatih (coach). Suporter setara dengan investor. Pengamat (pundit) sehalauan dengan analis saham. Komisaris (Board of Director) berperan sama dengan pemilik klub. Revenue naik adalah kemenangan, dan EPS growth sejajar dengan piala. Ketidakpastian menyelimuti kedua organisasi: klub sepakbola dan perusahaan yang melantai di Wall Street (emiten)
Kesamaan paling kentara di antara keduanya adalah besarnya uang yang dipertaruhkan. Investor menaruh harapan mereka pada harga saham yang diharapkan terus meningkat. Suporter menaruh asa mereka dalam perjudian dan aliran adrenalin saat tim kesayangannya menang.
Saat satu tim sepakbola kalah atau pendapatan perusahaan turun, investor dan suporter berupaya “menghukum” manajemen atau pelatih dengan meminta mereka mundur atau diganti. Pundit dan analis saham mengipasi tingginya emosi penonton dan investor dengan merilis tulisan analisa kenapa kemunduran itu terjadi, menyalahkan manajemen atau pelatih, dan mendesak pemilik klub atau komisaris mengganti pelatih atau manajemen.
Perbedaan antara perusahaan publik dengan klub sepakbola adalah : sebagian besar perusahaan publik mau menunggu dan bekerja sama memenangkan kompetisi. Perusahaan publik biasanya merupakan organisasi besar, dengan ratusan hingga ratusan ribu karyawan. Saat ada pergantian CEO atau direktur, mereka menyebarkan memo, mengadakan pertemuan organisasi untuk membahas visi dan kinerja, dan berusaha meyakinkan seluruh karyawan agar bekerjasama menggapai tujuan. Proses ini bisa berlangsung berbulan-bulan. Komisaris (atau Board of Director) perusahaan-perusahaan publik ini lebih sabar dan realistis dalam menilai kinerja. Kebanyakan mereka sadar bahwa pilihan untuk menyenangkan bursa bisa berarti kegagalan kinerja organisasi jangka pendek.
Bandingkan dengan pelatih klub sepakbola. Mereka diharapkan membuat perubahan sesingkat mungkin. Kalau bisa sesudah ditunjuk langsung menang atau juara kompetisi. Kalau memakai logika organisasi mini hal itu ada benarnya. Selain klub-klub jerman dan sejumlah klub yang melantai di bursa, kepemilikan klub sepakbola dikuasai oleh 1-4 orang. Pelatih hanya memimpin 30-80 orang (mencakup pemain, asisten dan staf medis). Mereka tidak langsung bertanggung jawab terhadap administrasi, sales atau operasional klub. Pelatih klub yang baru ditunjuk sudah seharusnya membawa keajaiban dengan memberi kemenangan instan. Kekalahan pada satu duel dengan selisih skor besar bisa berujung pemecatan.
Sirkus tidak berhenti pada internal organisasi. Kadang merembet sampai ke pundit, analis saham atau blogger. Perang pendapat acap mewarnai harian-harian bisnis dan olahraga, terutama tulisan tentang klub besar dengan fanbase jutaan orang atau saham perusahaan raksasa yang dimiliki hampir semua investor seperti Google atau Astra.
Untungnya investor saham tidak sefanatik penganut agama. Jarang ada kerusuhan yang menyangkut investor. Investor-investor saham tidak pernah/jarang berperang dengan invesor lain. Bertengkar dan adu argumentasi masih sering, tapi jarang berlanjut ke kontak fisik. Di beberapa negara seperti Inggris atau Italy yang rasis kerusuhan antar suporter masih sering sekali. Tapi korbannya sedikit sekali yang sampai tewas kalau dibandingkan konflik agama.
Bagi suporter, kegiatan berdebat, adu argumen, pergantian pelatih hingga perang nyanyian (chants) semuanya penting untuk menunjukkan kecintaan mereka pada klub dan menjaga level adrenalin tetap tinggi.
Bagi investor, kegiatan ala suporter di atas kurang begitu menarik. Investor lebih menekankan pada kemampuan dirinya sendiri menentukan kinerja perusahaan. Suara-suara bising lebih baik disimpan untuk percakapan atau pergaulan.

Mana yang lebih menarik? Sirkus sepakbola jelas lebih menarik ditonton, apalagi kalau sudah masuk perang nyanyian atau analisa statistik per pemain. Perang analisa saham kurang seru, karena masing-masing analis punya kepentingan menyesatkan lawan debatnya. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bagus Serap Air

    Konsekuensi dari tinggal di kamar kos dekat pohon besar adalah kamar yang lembab. Begitu pula dengan kamar saya. Tepat di depan kamar menjulang pohon mangga. Kaum tetumbuhan setiap malam rajin mengeluarkan karbon dioksida dan uap air sepanjang hari. Tidak heran kamar saya menjadi lembab, rentan jamur, baju dan buku terancam lapuk.     Untuk itulah saya memerlukan desiccants alias penyerap lembab yang dapat menyerap uap air dengan kuat. Saya pun mencoba Bagus Serap Air varian 450 ml sekali pakai. Bahan Aktif yang digunakan ialah butiran kalsium klorida (CaCl). Hasilnya? Dalam waktu 30 hari satu wadah penuh terisi cairan air dan garam yang berasal dari kelembaban di kamar saya.

Teh Tarik

Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, minuman bernama teh tarik ini bisa dibilang barang baru. Minuman yang berasal dari campuran teh hitam dengan susu ini baru dikenal awal tahun 200an, saat beberapa restoran menawarkan menu-menu ala negeri jiran, terutama Malaysia dan Singapura. Teh tarik biasa disajikan bersama roti bakar dan wafel di restoran-restoran ini.     Teh tarik sering rancu diartikan sebagai teh susu. Walau benar sebagian, ada perbedaan kecil antara teh tarik dan teh susu. Teh tarik adalah teh susu yang dituang bolak-balik di antara dua gelas besar sehingga menghasilkan cita rasa yang khas. Teh susu yang biasa disajikan di booth-booth berbagai merek teh biasanya hanya teh hitam dicampur susu yang dikocok beberapa saat dengan es batu.

Istilah Kuliah : Share Swap (Tukar Saham)

Beberapa minggu yang lalu bursa saham dihebohkan oleh kegiatan share swap yang dilakukan Telkom (melalui anak perusahaannya, Mitratel) dengan Tower Bersama Infrastructure (TBIG). TLKM akan menukar 49% kepemilikannya di Mitratel dengan kepemilikan 5.9% atas TBIG. Detailnya: TLKM (pasca transaksi) punya 5.9% hak kepemilikan atas TBIG, sedangkan TBIG punya 49% kepemilikan di Mitratel. TLKM menyerahkan kepemilikan atas 49% saham Mitratel dengan kepemilikan atas 5.9% saham TBIG.