Ronggeng Dukuh Paruk merupakan
salah satu karya sastra wajib siswa sekolah dasar tahun 90an, termasuk saya.
Cerita tentang kehidupan seorang penari ronggeng antara 1960-1970an itu
memotret interaksi birokrat, tentara, dan rakyat jelata. Sebagaimana Ronggeng
Dukuh Paruk, Bekisar Merah juga mengambil latar waktu yang sama dengan lokasi
berbeda. Jika novel pertama berlatarkan Karesidenan Banyumas, novel kedua
mengambil tempat di suatu desa perbatasan Sunda dan Banyumas, yaitu desa
Karangsoga, dan Jakarta.
Lasiyah, gadis peranakan
Sunda-Tiongkok, kabur ke Jakarta setelah mendapati suaminya selingkuh dengan
wanita lain. Di Jakarta ia terjerumus menjadi istri siri seorang birokrat.
Ketika ia terseret dalam kehidupan pelobi kekuasaan dan berjumpa dengan teman
masa kecilnya, kegelisahan melanda. Ia bingung menghadapi cinta pertamanya,
resah dengan status pernikahannya, dan gelisah menghadapi orang-orang
berpengaruh.
Bekisar Merah membawa
pembacanya kepada realita hidup pedesaan dan mengkontraskannya dengan kehidupan
Jakarta. Perjuangan penderes nira dibenturkan dengan kehidupan juru lobi. Daya
tarik kedua hal yang berbeda ini membawa Bekisar Merah menjadi novel yang layak
dibaca dan dikoleksi, sebagai potret gelap Indonesia di awal Orde Baru.
Komentar