image courtesy of www.cgu.edu |
Beberapa
hari yang lalu saya sempat menghadiri salah satu acara yang diadakan
@akberjogja yang memaparkan tema tantangan menulis. Dalam diskusi tersebut saya
baru tahu bahwa sebagian besar naskah yang diterima penerbit adalah naskah
fiksi. Perbandingannya 9:1, 9 naskah fiksi berbanding 1 naskah non-fiksi.
Bagi
saya yang terbiasa membaca dan menulis karya-karya non-fiksi, hal tersebut
sungguh mengejutkan. Terutama karena saya kurang bisa menyusun fiksi. Jangankan
membuat penokohan karakter dan alur plot, membuat cerpen 500 kata saja saya
kesulitan. Lebih mudah bagi saya mengarang tulisan how to, self help, atau opini. Cukup baca 5-15 buku atau jurnal,
temukan ide, tambahkan berita dari koran hari ini, lalu biarkan tangan bergerak
menulis sendiri. Lantas kenapa jarang orang Indonesia yang menulis karya
non-fiksi?
Jawabannya
saya dapat dari timeline @deelestari
dan obrolan dengan beberapa kawan. Menurut mbak Dewi Lestari, kebanyakan fiksi
di Indonesia masih berkutat pada rangkaian kata-kata. Alur cerita dan plot
kurang tergarap. Pembaca akan segera terkesan dengan rangkaian kata-kata
menawan di awal dan akan segera bosan, sampai enggan menamatkan buku.
Karena
penasaran dengan opini mbak dewi, saya mencoba membaca beberapa novel fiksi
lokal di Gramedia dan membandingkan dengan karya Meg Cabot dan Maurice LeBlanc.
Kenapa dua novelis tersebut? Karena sebagian besar novel lokal, hampir 80%,
bertema percintaan remaja dan saya tidak berpengalaman menganalisa tulisan
humor yang memenuhi 15% sisanya, jadi saya pilih tulisan thriller.
Betul
juga, ternyata novel-novel tersebut kering walau banjir kata-kata puitis.
Jangankan dibandingkan dengan Meg Cabot, dikomparasikan dengan karya @vabyo
atau @windyariestanti saja mereka kalah menarik. Novel-novel lokal tersebut
tidak menimbulkan rasa penasaran dan memacu kita untuk membeli buku tersebut.
Walau
kering dan mengambang (saya bingung menangkap apa maksud penulis fiksi-fiksi
itu) saya tetap mengapresiasi keberanian penulis-penuis muda tersebut untuk
menerbitkan bukunya. Susah lo membuat fiksi yang berkualitas. Yang perlu mereka
lakukan mencakup menemukan editor yang mumpuni dan keberanian membedah karakter
tokoh dan alur cerita. Karya mereka mungkin belum mampu menembus pasar avid reader, tapi dengan sedikit
sentuhan humor dan target market segmen
remaja, mereka tetap bisa menjual karya-karya mereka.
Pertanyaan
kedua, kenapa jarang ada penulis non-fiksi berkualitas di Indonesia, terjawab
ketika saya dan teman-teman sedang kongkow
di perpustakaan. Kongkow? Iya, karena
kami disitu bukan untuk membaca, belajar atau berdiskusi tapi ngobrol ngalor ngidul dan bergosip. Anekdot lama
terulang. Budaya membaca masyarakat Indonesia memang rendah. Jangankan
mahasiswa S1, mahasiswa pascasarjana seperti kami ini kadang enggan membaca
buku atau jurnal. Disodori setumpuk Fortune
atau GlobeAsia juga belum tentu
tergerak membaca.
Padahal
kemampuan menulis karya non-fiksi diawali dari kemauan dan kemampuan mengenali
dan menganalisa masalah atau peristiwa. Dimana bisa mengenali masalah? Dari
pengamatan sehari-hari. Dimana bisa belajar menganalisa? Dari membaca majalah,
koran, jurnal atau paling bagus buku. Tidak membaca buku? Tidak terlatih
menganalisa. Budaya lisan yang sedemikian mengakar di masyarakat Indonesia
sepertinya belum luntur sejak masa Orde Lama.
Saya
setuju semua orang bisa menulis. Tapi tidak semua orang bisa menghasilkan
tulisan yang menarik dan berkualitas. Untuk menghasilkan karya yang berkualitas,
seseorang harus rajin mengamati, membaca, berdiskusi dan berkonfrontasi. Cara paling
mudah membedah ide adalah membandingkannya dengan tulisan yang mendeskripsikan
ide terkait dan menganalisa keduanya.
Kita
tidak bisa menulis tanpa sebelumnya rajin membaca. Kualitas tulisan dan
penguasaan tata bahasa bakal amburadul. Bagaimana mau berdiskusi dan berdebat
kalau tidak punya dasar fakta? Kita bakal terdengar seperti politikus picisan.
Menurut
@adityamulya, industri buku di Indonesia sudah sangat maju. Buku-buku lokal
bisa mengalahkan buku impor dan terjemahan. Mungkin saat ini kita baru menjadi
jago kandang. Untuk bisa merangsek keluar ke pasar ASEAN, paling tidak kita
perlu menambah jumlah tulisan dan penulis berkualitas. Oleh karena itu saya
mendukung bertambahnya jumlah penulis-penulis baru dan meningkatnya kualitas
tulisan, baik fiksi maupun non-fiksi. Indonesia Negara Kita. Kita dukung
kemajuan Negara dengan mengembangkan kualitas SDM Indonesia untuk meenghasilkan
bacaan-bacaan berkualitas.
Selamat
Hari Sumpah Pemuda Kawan
Komentar