Sudah 2 tahun ini
berita tentang student debt menarik
perhatian pers. Jumlah student debt sangat
fantastis, mencapai $1 triliun. Beban bunga pada student debt mencapai 8%, bunga yang “rendah” untuk ukuran negara
Indonesia (saat tulisan ini dibuat, BI rate
di angka 7.5%) tapi mencekik leher bagi sebagian besar penduduk USA. Standar
bunga (suku bunga dasar kredit) di sana hanya 2.5% (sumber: time.com).
Di Indonesia,
berhutang untuk membiayai pendidikan masih sangat jarang ditemui. Kredit
konsumsi, perumahan dan kendaraan lebih sering ditawarkan. Bahkan kaum millennials lebih suka mengambil kredit
tinggi untuk membiayai pesta pernikahan daripada mencari kredit pendidikan.
Padahal kalau menurut hitung-hitungan kasar, berhutang untuk pendidikan bisa
meningkatkan nilai pendapatan di masa depan.
Daripada memaksakan
anak untuk kuliah di Universitas kota kecil dengan SPP sekitar 200ribu per
semester, bukankah lebih baik anak disekolahkan di Universitas di Ibukota
provinsi atau di kota-kota besar di Pulau Jawa, yang walaupun mahal tapi
menawarkan kualitas pendidikan lebih baik dan jaringan alumni mumpuni? (Sengaja
saya kesampingkan faktor kecerdasan dan ketekunan, saya hanya berfokus pada
sudut pandang finansial).
Kalau seorang anak
bersekolah di Universitas Muhammadiyah atau sekolah tinggi agama yang tersebar
di kota-kota kecil, jenjang karirnya cenderung mampet selama 10 tahun pertama.
Mungkin lulusan STAINU dan UnBraw akan masuk di posisi yang sama dengan gaji
yang setara. Tapi berkat kemampuan melihat peluang, meningkatkan kompetensi dan
memperluas pergaulan, si alumnus UnBraw akan lebih cepat maju, entah dengan
cara promosi, pindah ke perusahaan lain atau punya usaha sendiri. Sedangkan si
lulusan STAIN akan tertahan di posisi yang sama karena sudah merasa nyaman.
Bayangkan kalau
seorang anak memilih untuk bersekolah di Universitas Negeri di Pulau Jawa. Ia
akan mendapatkan pergaulan lebih luas, pola pikir terbuka, jaringan alumni kuat
dan etos kerja lebih baik (karena Universitas Negeri biasanya saling bersaing
satu sama lain dan menetapkan standar pemahaman lebih tinggi agar bisa
bersaing). Orang tuanya yang tidak bisa membiayai bisa memilih untuk berhutang
ke bank. Biaya pendidikan S1.universitas negeri di Solo sampai lulus (di luar
biaya hidup dan senang-senang) hanya 10-25 juta. Universitas Negeri di
Purwokerto dan Malang mematok biaya 15-40 juta (dengan perkecualian fakultas
kedokteran dan kedokteran gigi). Misalkan mereka berhutang 30 juta untuk
membiayai pendidikan si anak di Malang, dengan bunga 15% per tahun, dengan jangka
waktu 15-20 tahun. Kedua orang tua bisa mencicil biaya pendidikan tersebut per
bulan. Kelak, ketika si anak sudah bekerja, ia bisa mengambil alih cicilan
tersebut dengan namanya sendiri dan melunasinya.
Dengan mendiskusikan
hutang biaya pendidikan dengan anaknya, orang tua bisa memberi edukasi
finansial sekaligus mendorong si anak memanfaatkan waktunya sebaik mungkin
ketika kuliah. Jika ia bisa lulus selama 4 tahun dan meraih pekerjaan segera
setelah lulus, ia bisa meringankan beban orang tua sekaligus latihan
bertanggung jawab terhadap hidupnya sendiri.
Sayangnya,
asumsi-asumsi yang saya pakai di atas hanyalah mimpi L . Student debt masih dikategorikan Kredit
Tanpa Agunan. Bunganya mencapai 28%, plafon yang diberikan maksimal IDR 200
juta (ga bakal cukup membiayai kuliah
kedokteran di UI, UGM atau Unair), jangka waktunya cuma 3 tahun dan pemohon
(orang tua pelajar) harus punya kartu kredit dengan plafon di atas 5 juta. Reality bites.
Bank-bank di
Indonesia masih menganggap pendidikan bukanlah investasi. Kalau plafonnya
sama-sama 400juta, mereka lebih suka menyalurkannya ke KPR daripada membiayai
sekolah. Kredit pendidikan masih dikategorikan berisiko tinggi, lihat saja
bunganya yang mencapai 28% setahun.
Sulitnya kredit
pendidikan ini mungkin mencerminkan pola pikir masyarakat yang lebih suka
mengkonsumsi gadget dibanding
membiayai pendidikan. Kepuasan akan gadget
bisa dinikmati saat ini, sementara investasi pendidikan baru bisa dinikmati
5-10 tahun mendatang.
Komentar