Sengaja review ini
ditulis 6 bulan sesudah Star Trek ditayangkan supaya spoilernya tidak mengganggu dengan asumsi hampir semua moviegoers sudah menontonnya. Star Trek
termasuk film box office, jadi ditayangkan di bioskop selama 2-4 minggu.
Bagi Trekkies generasi Baby Boomers dan Gen X Star Trek Into Darkness kurang menggigit,
kurang menarik dan mengacaukan mayoritas elemen star trek yang mereka tahu
(Source: Time.com/entertainment). Namun bagi penonton generasi millennials seperti saya dan sebagian
besar target market (film ini berrating PG-13, remaja boleh menonton) Star Trek:
Into Darkness sangat menghibur dan layak ditonton.
Bagi penikmat layar
perak, film yang bagus adalah film yang bisa menghadirkan efek suara, ledakan,
sinematografi atau animasi 3D sebagus mungkin. Star Trek: Into Darkness
menyajikan itu semua. Kita bisa mengapresiasi keunggulan efek 3D dan lens flare lebih jelas bila menonton di
IMAX 3D atau Home Theatre 3D (kalau punya dvd atau bluray player).
Bagi penggemar akting
dan cerita, film yang bagus adalah film yang punya jalan cerita mengejutkan,
sulit ditebak, tidak membosankan dan bisa direfleksikan ke kehidupan harian,dan
ditunjang dengan akting mumpuni dan mengesankan dari sebagian besar pemerannya.
Namun Star Trek: Into
Darkness tidak punya script dan jalan
cerita yang matang. Ceritanya menarik sampai 4/5 jalan cerita. Di akhir film,
adegan kejar-kejaran dan perkelahian khas Hollywood terasa klise dan cheesy. Klimaksnya justru ada pada mind games tokoh antagonis terhadap awak
USS Enterprise.
Di luar tokoh villain John Harrison/Khan akting
pemeran utama dan pendukung terasa datar dan tenggelam. Atau mungkin karena
keunggulan akting villainnya di atas
semua cast, maka kesan akan
karakter-karakter lain tidak sekuat kesan penonton terhadapa karakter villain. Padahal di luar Star Trek: Into
Darkness, akting para castnya
tergolong bagus.
Benedict Cumberbatch
memperlakukan film Star Trek: Into Darkness seperti caranya memperlakukan
cerita teater atau film-film serius yang dilakoninya (BBC:Sherlock, Warhorse,
Tinker Tailor Soldier Spy, 5th Estate,dan lain-lain), yaitu dengan
riset mendalam (sebelum berakting),penuh ekspresi, dan penghayatan penuh. Dia
tidak butuh pesawat atau torpedo untuk berakting penuh penghayatan. Rasanya
seperti menonton akting teater di layar lebar.
Khan disini terlihat
seperti pembunuh berdarah dingin yang sangat kuat (physically & mentally) sehingga mampu membantu satu batalyon
tentara alien seorang diri, sedemikian cerdas sehingga mampu mempengaruhi orang
dengan percakapan singkat, mampu mengkalkulasi rencana hingga sembilan langkah
ke depan, arsitek senjata dan pesawat yang brilian tapi punya kasih sayang
terhadap kru pesawatnya yang dianggap keluarganya.
Review dari www.businessinsider.com
menulis bahwa sebagian besar pelaku dan wartawan finansial menonton Star Trek:
Into Darkness hanya untuk melihat akting Cumberbatch. Sejumlah blog movie review (termasuk dari New York
Times, Time, dan Guardian) berpendapat bahwa akting villain membuat akting pelaku lainnya tenggelam. Dan mereka benar.
Bagian paling menarik
dari Star Trek: Into Darkness adalah saat Khan dan Spock bersilat lidah. Spock
yang datar seperti bukan bandingan Khan yang licin dan kejam. Hanya dengan
melihat adegan sepanjang 3.5 menit ini penonton bisa tahu bedanya aktor lulusan
teater London dan lulusan serial TV Hollywood. Ucapan Khan seolah muncul dari
pikirannya sendiri dengan motif dan tujuan yang jelas. Ucapan Spock muncul dari
dialog yang ditulis scriptwriter.
Lupakan kapten Kirk yang
baik tapi bodoh. Atau kru Enterprise lain yang gagal mengatasi krisis. Thats what you get when a boy tried to do a
man’s job. Seluruh alur cerita dikendalikan oleh langkah villain.
Komentar