image courtesy of j-cat.deviantart.com |
Sejak dari jaman
dahulu kala industri film berusaha menggali ide dari dunia sastra. Salah satu
bentuknya adalah film adaptasi. Tak terhitung banyaknya fiksi yang diadaptasi
jadi film layar lebar, serial televisi atau drama teater.
Dari dalam negeri ada
karya fenomenal Laskar Pelangi, Badai Pasti Berlalu, Karmila dan Pintu
Terlarang hingga yang terbaru Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk yang sudah
diangkat ke layar lebar dan sinetron. Kebanyakan novel best-seller di Indonesia diadaptasi menjadi film layar perak.
Hollywood lebih doyan
lagi mengadaptasi sastra. Yang paling fenomenal tentulah The Godfather dan Lord
of The Rings yang berhasil meraup sejumlah penghargaan Oscar dan pendapatan
kotor ratusan juta dolar. Tidak cuma karya sastra, komik pun diadaptasi ke
layar lebar. Batman dan Spiderman adalah contoh suksesnya.
Industri teater dan
televisi di Inggris tidak kalah dalam memproduksi serial tv atau drama teater
dari novel. Karya-karya Shakespeare, Jane Austen dan Agatha Christie (terutama
cerita dengan tokoh utama Hercule Poirot) adalah yang paling sering diadaptasi
ke film layar lebar dan teater. Industri televisinya sudah berulang kali
memproduksi sinetron yang diadaptasi dari Sherlock Holmes karya Sir Arthur Conan
Doyle atau Miss Jane Marple karya Agatha Christie.
image courtesy of yabookqueen.blogspot.com |
Apa keuntungan mengadaptasi
novel atau karya sastra laris? Pastinya jaminan penonton yang jadi target market dan dialog atau jalan
cerita yang sudah jadi. Novel-novel mega hits seperti Laskar Pelangi atau Harry
Potter yang punya jutaan penggemar adalah sasaran empuk bagi produser film
manapun. Kalau sepersepuluh saja penggemar edisi cetaknya bersedia menonton di
bioskop atau membeli DVD versi filmnya, keuntungan ratusan juta dolar sudah
membayang.
Tapi sebagus-bagusnya
film adaptasi pasti ada kelemahannya. Yang paling kentara ialah ketidakmampuan
film memuat semua cerita dari novel ke dalam film berdurasi maksimal 3 jam.
Kalaupun sutradara atau penulis skenarion nekat memuat semua adegan ke film
hasilnya akan nanggung dan kurang berkarakter.
Bagi penonton, ada
keuntungan tersendiri menonton film adaptasi dari novel atau karya sastra.
Diantaranya lebih santai dinikmati dan menghemat lebih banyak waktu. Apalagi
film yang diadaptasi dari puisi. Lebih baik menikmati dalam bentuk film
daripada membaca puisinya. Cuma dibutuhkan waktu maksimal 3 jam untuk menonton
film layar lebar atau serial televisi, dan maksimal 6 jam untuk menonton
teater. Kerugiannya: imajinasi kurang terasah. Penonton cuma menerima cerita dalam
film sesuai tafsiran sutradara dan penulis skenario.
Membaca karya sastra
atau novel bisa memperkaya kosakata, mengasah otak dan menggerakkan imajinasi.
Kita bisa membandingkan kisah satu dengan yang lain, mencari benang merahnya
dan menghubungkan cerita-cerita tersebut, bahkan memikirkan ending alternatif bagi karya sastra yang
sedang dinikmati. Namun membaca novel membutuhkan komitmen kuat dan waktu
membaca yang lama, bisa berbulan-bulan untuk satu buku.
Komentar