Kita tentu sering menyaksikan
perdebatan wakil rakyat di televisi. Sepintas, argumen mereka ngasal dan
mengada-ada. Sering kali adu argumentasi mengarah ke debat kusir, apalagi jika
pihak-pihak yang berdebat berada di posisi yang berlawanan. Masing-masing
terkesan merasa paling benar dan menang sendiri.
Namun sadarkah kita bahwa
perdebatan itu bagian dari demokrasi? Demokrasi, sistem yang dianut Indonesia,
mensyaratkan semua suara warga negara diakomodasi. Salah satu caranya dengan
menempatkan wakil rakyat di Parlemen. Makanya jangan mau disogok saat pemilihan
anggota legislatif. Dapat 200ribu tapi jalan dekat rumah ga bakal dibenerin
bertahun-tahun.
Wakil rakyat ini seharusnya memperjuangkan kepentingan warga di
daerah pemilihannya dan kepentingan partainya. Sehingga popularitas si wakil
rakyat di internal partai dan di daerah pemilihannya bisa terjanga. Salah satu
cara meningkatkan atau mempertahankan popularitas adalah dengan lantang
bersuara di debat parlemen, entah debat dengan sesama anggota parlemen atau
debat mempertanyakan kebijakan pemerintah. Apa yang perlu diperdebatkan? Apa
saja, mulai dari subsidi pupuk sampai anggaran infrastruktur. Tema yang pas
(sedang hangat diperbincangkan di masyarakat), penyampaian sanggahan dengan
suara yang keras, artikulasi tepat, tata bahasa bagus dan penampilan rapi
adalah resep jitu meningkatkan popularitas.
Demokrasi membutuhkan mekanisme
check and balance. Lembaga legislatif
dan eksekutif harus bekerja sama sekaligus mempertanyakan kebijakan dan kinerja
satu sama lain. Sebagian buku tata negara berpendapat bahwa demokrasi
seharusnya menghasilkan pemerintahan (eksekutif) yang sedikit lebih kuat
dibanding parlemennya. Cukup kuat untuk menjalankan program-program pembangunan
dan konsolidasi, tapi tidak terlalu kuat sehingga kebal hukum dan enggan
dikoreksi (because absolut power tend to
corrupt). Parlemen yang agak lemah diperlukan agar tetap bisa mengkritisi
kebijakan pemerintah, tapi tidak terlalu lemah sehingga bisa digencet
eksekutif, mengabulkan segala permintaan eksekutif, seperti yang terjadi di
Orde Lama dan Orde Baru.
Idealnya, parlemen
mempertanyakan hampir semua kebijakan pemerintah, mempertanyakan
transparansinya, akuntabilitasnya, dan penerapannya. Parlemen tidak perlu
menanyakan kebijakan pemerintah yang transparan, yang akuntabilitasnya dapat
dipertanggungjawabkan, serta penerapannya sesuai dengan tujuannya. Apalagi jika
ternyata pemerintah sudah mengeluarkan laporan pertanggungjawaban yang mudah
dimengerti dan akuntabel. Parlemen sebaiknya mempertanyakan kebijakan
pemerintah yang pelaksanaannya tersendat, tidak ada laporan pertanggung
jawaban, tidak transparan dan eksekusinya mengalami banyak hambatan. Disini
parlemen berfungsi sebagai mitra pemerintah dalam merumuskan dan mengidentifikasi
kebijakan yang tepat. Anggota parlemen terkdadang bersedia membantu eksekusi
kebijakan pemerintah, apalagi kalau kebijakan tersebut membantunya mendongkrak
popularitas.
Kalau kita melihat perdebatan
di televisi atau Youtube, argumentasi wakil rakyat sering ga nyambung atau
mengada-ada saat mengkritisi kebijakan pemerintah atau menyusun Undang-Undang.
Namun jika kita melihat negara-negara Eropa 300 tahun yang lalu, argumen
anggota parlemen kita tampak serupa. Kacau, tidak runtut dan faktanya ngawur.
Serupa dengan argumen wakil rakyat Inggris dan Prancis di tahun 1700an.
Demokrasi Inggris dan Pranci terus berevolusi hingga semaju saat ini. Mereka
paham bahwa diperlukan kecerdasan analitis agar dapat menjadi wakil rakyat yang
berguna, bukan hanya tampang bersih dan suara keras.
Pemilih yang cerdas menuntut
dan membutuhkan wakil rakyat yang cerdas pula. Kemarin dan sekarang kita
mungkin salah memilih perwakilan di parlemen. Atau mungkin pilihan kita benar
tapi sang wakil rakyat tersandung permasalahan partai. Namun dari kesalahan itu
kita belaja. Kita belaja memilih wakil rakyat yang mewakili kepentingan kita.
Kita belajar memilih wakil rakyat yang tidak haus proyek negara. Kita belajar
mengabaikan wakil rakyat yang gemar menaikkan tunjangan dirinya sendiri tanpa
pernah hadir di rapat pembuatan undang-undang. Dan kegaduhan perdebatan
anggota-anggota parlemen adalah saran akita menyaring anggota parlemen yang
berkualitas.
Komentar