Penulis mega-bestseller JK
Rowling kembali dengan buku keduanya dari genre detective, The Silkworm, yang ditulisnya dengan nama alias Robert
Galbraith. Sama seperti buku sebelumnya, The Cuckoo’s Calling, Silkworm masih
berkisah tentang detektif partikelir Cormoran Strike dan sekretaris/sidekick Robin Ellacott, pasangan
Sherlock dan Watson versi Rowling. Kali ini, mereka berusaha memecahkan misteri
pembunuhan novelis kurang laris Owen Quine.
Delapan bulan setelah berhasil
memecahkan pembunuhan atas model terkenal Lula Landry, Strike menghadapi kasus
hilangnya penulis sekaligus suami dari Leonora Quine. Strike sesungguhnya hanya
ingin menghindari dari kejenuhan menangani kasus perselisihan rumah tangga dan
penggelapan uang perusahaan dengan mencoba mencari orang hilang, tapi malah
menemukan mayat Owen Quine yang hangus disiram zat asam. Instingnya pun
tergerak untuk menyelidiki dan mengkonfrontasi pembunuhnya dengan dibantu Robin
dan adik tirinya, Alexander Rokeby.
Jangan membandingkan serial
Cormoran Strike dengan Harry Potter. Keduanya berbeda jauh, mulai dari segi
alur, plot, penuturan, jumlah karakter, hingga target pembaca. Silkworm alurnya
linear maju, nyaris tidak ada subplot, penuturan ceritanya didominasi dialog
(hampir 60% berisi dialog) dan jumlah karakter utama dan pembantu kurang dari
sepuluh.
Kalau membaca serial Cormoran
Strike, saya jadi teringat serial NYPD Red atau Alex Cross dari James
Patterson, atau Theodore Boone dari John Grisham. Ketiga serial tersebut
sepertinya mengikuti pakem penulisan serial detektif dicetuskan Agatha
Christie. Lebih banyak dialog dan interaksi dengan terduga tersangka, adanya sparing partner yang membantu tokoh
utama mempersempit daftar tersangka, alur cerita linear maju nyaris tanpa
subplot, dan kecenderungan untuk mengkonfrontasi tersangka terakhir di akhir
cerita.Jika Harry Potter series ditujukan bagi pembaca segala umur, maka serial
Cormoran Strike ditujukan bagi pembaca dewasa, minimal berusia di atas 18
tahun.
Keistimewaan Silkworm dibanding
novel detektif lain antara lain: adanya kutipan dari sejumlah novelis atau
penulis karya sastra di setiap awal bab (misal kutipan dari John Fletcher dari
novel The Bloody Brother di bab 17, kutipan dari novel The Little Frech karya
Franci Beaumont dan Philip Massinger di bab 10, dan kutipan dari Timons of
Athens karya William Shakespeare di bab 43) sehingga dengan membaca Silkworm
saja kita mendapat banyak sekali referensi kesusastraan Modern, kertasnya agak
kekuningan sehingga ringan tidak silau di mata dan baunya enak, ada
kejutan-kejutan kecil dalam jalan cerita yang familiar dengan kehidupan orang
biasa sehari-hari (seperti perasaan Strike saat tahu tim sepakbola
kesayangannya kalah atau kegeraman Robin saat lalu lintas terhambat akibat
kecelakaan dan perbaikan jalan), dan deskripsi sangat mendetail tentang
sudut-sudut kota London. Alangkah bagusnya jika kita bisa membaca Silkworm
sambil menikmati panorama London dari Google Earth atau Google Maps.
Kalaupun ada kelemahannya, maka
hal itu adalah ketidakmampuasn Galbraith/Rowling menyusun cerita cinta yang
standar tokoh utamanya sebagai bumbu wajin novel detektif dewasa. Mantan
kekasih Strike, Charlotte Campbell (digambarkan berparas dan fisik seperti
Hillary Rhoda), hanya berupa bayang-bayang masa lalu yang kadang menelusup ke
benak Strike. Gadis lain yang mencoba menjalin hubungan dengannya, Nina
Lascelles, pun digambarkan kurang bisa menjalin hubungan yang awet dengan
Strike.
Secara keseluruhan, Silkworm
adalah novel detektif yang sangat bagus dan menyenangkan dibaca. Bahasanya
sederhana,mudah dimengerti bagi pembaca segala umur dan enak dibaca. Novel
setebal 532 halaman ini bisa diperoleh dengan harga kurang dari 100ribu,
mengingat toko-toko buku gemar menggelar diskon di awal tahun
Komentar