Sejak Soeharto diturunkan dari
takhtanya, kreativitas dan ide berkembang cepat. Dunia kesenian, sastra, dan
budaya bergabung dengan dunia wirausaha. Penggabungan ini dipraktekkan secara
luas di masyarakat. Di satu sisi, penggabungan itu menguntungkan kreativitas,
yang bisa menyebar luas menembus budaya dan kelas. Semakin banyak orang kreatif
yang menggabungkan berbagai unsur seni dan budaya. Tapi di sisi lain tingkat
kedalaman dan keseriusan nilai dalam budaya semakin dangkal. Dan itulah yang
terjadi pada dunia sastra kita.
Kalau dulu saat kita masih
dijajah Belanda dan ditindas Soeharto, sastra kita dianggap bermutu karena
berisi penderitaan, perjuangan, dan keinginan bertahan hidup, maka di era
kebebasan ini karya-karya galau khas remaja justru membanjiri pasar, dan
disukai konsumen. Sepintas memang dangkal, tapi penjualan karya sastra jenis
itu yang bisa digolongkan karya chicklit
atau teenlit terus meningkat.
Indikasinya, semakin banyak judul buku yang diterbitkan pada genre itu, semakin
sering buku-buku di rak novel laris berganti tiap minggu, dan semakin banyak
penulis baru yang muncul.
Sejumlah penikmat sastra kerap
beranggapan bahwa karya-karya teenlit terlalu dangkal dan tidak berbobot. Saya
pun demikian. Tapi kalau dipikir-pikir, separuh lebih populasi Indonesia adalah
anak muda. Hampir dua pertiganya berusia di bawah 20 tahun. Mereka adalah
golongan anak muda yang sedang haus-hausnya mencari pengalaman dan pertemanan.
Salah satu sumber bacaan favorit, ya dari teenlit
itu. Apalagi pengarang-pengarangnya sebagian seumuran mereka juga. Wajar
lah kalau novel atau karya teenlit laku keras. Walau tidak bisa digolongkan
karya sastra (sepertiga teenlit cuma
berupa buku harian), tapi karya-karya seperti itulah yang paling dekat dengan
keseharian mereka.
Sewaktu masih duduk di bangku
sekolah dasar saya sering mendapat cuplikan adegan dari sebuah karya sastra
tersohor, seperti Salah Asuhan, Siti Nurbaya, atau Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck. Saya baru bisa mengapresiasi karya-karya tersebut saat menginjak bangku
SMU. Akui saja, kalimat-kalimat sastra serius di atas terlalu bersayap, kisah
yang diangkat sulit dipahami anak usia 10 tahun.
Bandingkan dengan anak sekolah
abad 21. Mau bacaan santai, ada kumpulan cerpen Bobo. Bacaan agak serius, ada teenlit. Bacaan sangat serius? Ada
buku-buku fiksi karya Dewi Lestari yang alurnya mudah dipahami. Belum ribuan
karya tulis, novel, cerpen, dan antologi yang dikarang sesama anak-anak yang
juga tersedia bagi mereka.
Kalau ukuran dalam dangkalnya
sebuah karya sastra adalah rak best
seller di toko-toko buku, maka pendapat kritikus-kritikus sastra itu
mungkin ada benarnya. Tapi di luar itu ada juga karya-karya sastra seru yang
digarap dengan riset dan pertapaan mendalam dari penulisnya, seperti karya Eka
Kurniawan, Laksmi Pamuntjak, atau Leila Chudori. Karya-karya cinta dan
kehidupan remaja seperti novel-novel Wina Effendi masih mendominasi, tapi muncul
pula karya-karya serius yang cukup mendapat peminat walau belum sampai masuk
rak best seller.
Di era reformasi, semua orang
mendapat kesempatan yang sama untuk belajar dan mengemukakan pendapat. Di era
ini, jenis penderitaan dan kesulitan hidup yang dialami berbeda dari era orde
baru. Di Orde Baru penderitaan berarti ditindas, diculik, dianiaya sampai
cacat, atau ditembak jagal misterius. Pasca Orde Baru makna penderitaan
bergeser menjadi masalah bertahan hidup, memenangkan persaingan, menghadapi peer pressure, mencari makan untuk
kegiatan sehari-hari, hingga bersiasat menghadapi tekanan preman dan politikus.
Tidak ada yang salah dengan
kurangnya kedalaman di karya sastra jaman reformasi. Hanya permasalahan yang
dihadapi berbeda. Begitu pula karya sastra. Beda jaman beda sudut pandang, beda
pula permasalahan yang diangkat. Tidak ada yang salah dengan hal itu.
Komentar