Penduduk di negara-negara yang harus berhemat seperti Rumania dan Yunani terus berdemo menuntut dihapuskannya program penghematan (Austerity Measures). Menurut teori Keynes,justru saat krisis belanja negara harus ditingkatkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Tapi pemerintah negara-negara tersebut sudah kesulitan memperoleh dana anggaran belanja,bahkan terbebani dengan utang pemerintahan sebelumnya,jadi darimana mereka bakal memperoleh uang?
Pengetatan anggaran yang dilakukan bertujuan melunasi hutang negara. Kalau mereka tidak melunasi hutang, lembaga-lembaga pemeringkat mengkategorikan mereka sebagai negara gagal (default). Investor tidak bersedia berinvestasi di negara mereka. Pembangunan justru terhenti kalau investasi seret.
Tapi kalau mereka melunasi hutang dengan dana dari pengetatan anggaran, pembangunan juga melambat karena belanja negara berkurang. Di sisi lain, investor terlanjur kabur dari negara yang dilanda krisis karena kerusuhan, pemogokan dan demonstrasi.
Kalau menuruti saran Keynes, sebaiknya pemerintah tidak usah mengadakan pengetatan anggaran, justru meningkatkan anggaran belanja negara. Masalahnya, dari manakah pemerintah mendapatkan dana? Jawabannya adalah lembaga moneter internasional seperti IMF,Bank Dunia, atau ECB. Risiko meminjam dana dari lembaga-lembaga tersebut adalah pemerintah terpaksa menuruti segala kemauan mereka dengan membiarkan anggaran belanja negara diatur menurut 'resep' mereka, dan harus membayar bunga pinjaman beserta pokoknya dalam jumlah besar tiap tahun.
Kalau pemerintah ingin melunasi hutang terlebih dulu dengan membatasi anggaran belanja, kerugiannya ekonomi akan melambat,pengangguran merebak,dan berisiko meluasnya kemiskinan. Keuntungannya, kepercayaan investor luar negeri terhadap pemerintah kembali.
Pemerintah Indonesia pernah mengalami kondisi yang sama dengan Yunani pada tahun 1998. Untuk melunasi hutang-hutang yang ditumpuk Soeharto, pemerintah menjual aset-aset negara yang penting, seperti Semen Cibinong, Indosat,Telkomsel, kapal tanker, pesawat,dll.
Menteri keuangan (Sri Mulyani) akhirnya berinovasi dengan mengeluarkan obligasi negara yang ditujukan kepada investor dalam negeri dengan harga per lembar yg sangat terjangkau, yaitu ORI dan SUKRI. Kedua produk investasi ini sukses besar. Pemerintah bisa melunasi hutangnya kepada IMF dan memperoleh dana untuk anggaran belanja negara.
Yunani dan Romania bisa saja mengikuti langkah Indonesia dengan menerbitkan obligasi kepada investor ritel dalam negeri seperti ORI dan SUKRI. Nilainya bisa lebih kecil daripada ORI mengingat pertumbuhan ekonomi Yunani dan Romania tidak setinggi Indonesia. Penerbitan obligasi kepada investor lokal ini juga bisa memicu rasa nasionalisme kelas menengah untuk ikut membantu memulihkan perekonomian negara.
Komentar