Langsung ke konten utama

The Moral Case For Fossil Fuels by Alex Epstein

Selama ini kita hanya mendengar dan menyaksikan keburukan dari energi fosil (minyak bumi, gas alam dan batubara). Mulai dari meningkatkan suhu bumi, mempercepat perubahan iklim, hingga menyebabkan bencana alam, seperti yang selalu didengungkan aktivis Greenpeace. Kita lupa mengukur manfaat yang diberikan energi fosil, mulai dari bahan bakar murah, energi listrik melimpah, hingga penyedia energi utama bagi aktivitas manufaktur. Berkat bahan bakar fosil perekonomian tumbuh, jutaan lapangan kerja tercipat, peradaban dunia berkembang, dan teknologi berkembang pesat.
Ide atau premis utama dari buku karya Alex Epstein ini adalah keuntungan (benefit) yang didapat dari bahan bakar fosil jauh melebihi risiko atau bencana yang ditimbulkannya. Dunia memang menjadi lebih panas, tapi lajunya tidak secepat yang diperkirakan ilmuwan 30 tahun yang lalu. Es di Greenland memang mencair, tapi tidak meningkatkan ketinggian air laut seperti yang diperkirakan ilmuwan lingkungan 20 tahun yang lalu. Penduduk Greenland justru bisa bercocok tanam sejak suhu bumi menghangat.

Buku ini tidak hendak membela penggunaan energi fosil secara membabi buta. Epstein justru ingin pembacanya memandang pemakaian energi fosil dari sudut lain, yaitu kemajuan peradaban dan kesejahteraan manusia. Ia pun menekankan perlunya diversifikasi sumber energi. Karena bahan bakar fosil saat ini adalah satu-satunya sumber energi yang reliable (dapat diandalkan) tapi efek sampingnya sulit dimitigasi, perlu ditambah sumber-sumber energi lain dari bahan bakar non-fosil. Untuk sumber listrik, diperlukan pembangkit listrik tenaga nuklir, air, mikrohidro,panas bumi, ombak, kincir angin dan surya untuk melengkapi pembangkit listrik tenaga gas alam dan uap (batubara). Untuk bahan bakar kendaraan, saatnya mendiversifikasi bahan bakar minyak bumi ke bahan bakar etanol, olein (minyak goreng), listrik atau hidrogen.

Sebagai karya investigasi tentang konsumsi bahan bakar fosil, Moral Case For Fossil Fuels sangat membuka mata akan sisi baik dari bahan bakar fosil tanpa mengesampingkan efek buruknya. Yang perlu dilakukan adalah menyusun portofolio energi agar efek buruk bahan bakar fosil dapat diperkecil.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bagus Serap Air

    Konsekuensi dari tinggal di kamar kos dekat pohon besar adalah kamar yang lembab. Begitu pula dengan kamar saya. Tepat di depan kamar menjulang pohon mangga. Kaum tetumbuhan setiap malam rajin mengeluarkan karbon dioksida dan uap air sepanjang hari. Tidak heran kamar saya menjadi lembab, rentan jamur, baju dan buku terancam lapuk.     Untuk itulah saya memerlukan desiccants alias penyerap lembab yang dapat menyerap uap air dengan kuat. Saya pun mencoba Bagus Serap Air varian 450 ml sekali pakai. Bahan Aktif yang digunakan ialah butiran kalsium klorida (CaCl). Hasilnya? Dalam waktu 30 hari satu wadah penuh terisi cairan air dan garam yang berasal dari kelembaban di kamar saya.

Teh Tarik

Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, minuman bernama teh tarik ini bisa dibilang barang baru. Minuman yang berasal dari campuran teh hitam dengan susu ini baru dikenal awal tahun 200an, saat beberapa restoran menawarkan menu-menu ala negeri jiran, terutama Malaysia dan Singapura. Teh tarik biasa disajikan bersama roti bakar dan wafel di restoran-restoran ini.     Teh tarik sering rancu diartikan sebagai teh susu. Walau benar sebagian, ada perbedaan kecil antara teh tarik dan teh susu. Teh tarik adalah teh susu yang dituang bolak-balik di antara dua gelas besar sehingga menghasilkan cita rasa yang khas. Teh susu yang biasa disajikan di booth-booth berbagai merek teh biasanya hanya teh hitam dicampur susu yang dikocok beberapa saat dengan es batu.

Istilah Kuliah : Share Swap (Tukar Saham)

Beberapa minggu yang lalu bursa saham dihebohkan oleh kegiatan share swap yang dilakukan Telkom (melalui anak perusahaannya, Mitratel) dengan Tower Bersama Infrastructure (TBIG). TLKM akan menukar 49% kepemilikannya di Mitratel dengan kepemilikan 5.9% atas TBIG. Detailnya: TLKM (pasca transaksi) punya 5.9% hak kepemilikan atas TBIG, sedangkan TBIG punya 49% kepemilikan di Mitratel. TLKM menyerahkan kepemilikan atas 49% saham Mitratel dengan kepemilikan atas 5.9% saham TBIG.