Petualangan saya dalam literature review buku-buku yang
menginvestigasi industri makanan dan bahan-bahan makanan yang terkandung dalam
makanan olahan ringan (processed food)
berlanjut. Setelah puas melahap Salt Sugar Fat saya beralih ke Pandora’s
Lunchbox dari Melaniew Warnet. Fokus kedua buku ini masih sama, yaitu bahan-bahan
kimia yang terkandung dalam processed
food yang dipasarkan di Amerika
Serikat (AS).
Berbeda dengan di Indonesia
dimana masyarakat lebih suka membeli makanan yang dimasak di warteg, warung
tenda kaki lima atau warung padang, dan masih mempertahankan budaya memasak di
rumah, rumah tangga di AS lebih suka membeli makanan beku dan memanaskannya di microwave. Hal ini membuat pangsa pasar
makanan olahan terbuka lebar. Kalau anak-anak perkotaan di Indonesia makan
Cheetos atau Chitato seminggu sekali, maka anak-anak di AS bisa makan kripik junk food tiap hari. Makanan restoran
yang mereka santap didominasi oleh KFC, McD, atau Pizza Hut. Keluarga di
Indonesia, lebih suka menikmati urap, pecel dana lele bakar dari warung
tetangga. KFC di Indonesia menyediakan nasi organik dan ayam segar, KFC AS
menyuguhkan daging ayam yang disembelih minggu lalu.
Hal-hal di atas adalah sebagian
informasi remeh temeh yang bisa disimpulkan dari Pandora’s Lunchbox. Tentu saja
ada hal-hal penting lainnya, semisal bagaimana sereal, kripik kentang dan
makanan-makanan modern (yang dibuat di pabrik) berasal, diolah, dan disajikan.
Hal yang membedakan Pandora’s
Lunchbox dari Salt Sugar Fat adalah fokus Melanie Werner (penulis) terhadap
jenis bahan kimia dalam makanan. Jika Salt Sugar Fat hanya berfokus pada gula,
garam dan lemak, Pandora’s Lunchbox berfokus pada bahan-bahan kimia pelengkap
yang dijejalkan ke junk food. Maka,
istilah-istilah bahan kimia seperti glukosa, fruktosa, azenocarbomide, linoleum
atau asam hidroksida bertaburan di halaman-halamannya. Untuk perhatiannya pada
detail, Werner perlu mendapat penghargaan. Ia bisa dan bersedia melakukan
percobaan dan investigasi sendiri berminggu-minggu. Kelemahannya: ilustrasi
dalam Pandora’s Lunchbox, walau menarik dan mendetail, kurang melekat dan
mendetail. Membaca buku ini tidak merasakan kelekatan yang mendalam seperti
saat membaca Logics of Life atau Freakonomics.
Keunggulan Pandora’s Lunchbox
yang sulit disamai buku lain adalah saran Werner tentang keuntungan memasak
makanan sendiri dari sudut pandang wanita karir yang berkeluarga. Anak-anak
menjadi lebih sehat, ayah dan ibu bebas dari nyeri jantung dan konstipasi,
proses belajar jadi lebih mudah, dan keluarga keseluruhan terbebas dari
gangguan jiwa akibat overdosis pengawet makanan. Caranya: sama seperti
merencanakan keuangan, menu makanan direncanakan untuk seminggu ke depan,
seluruh anggota dilibatkan. Tiap anak diberi tugas sesuai kemampuannya.
Contohnya: si bungsu memindahkankan sayur ke mangkuk besar dan membawanya, si
sulung memasak makanan pembuka, ayah mengiris dan mencacah semua bahan makanan,
biu meracik semua bahan makanan jadi makanan siap santap, dan anak tengah
membereskan meja dan cuci piring.
Buku setebal 288 halaman ini
bisa didapat di Google Play seharga IDR 192 ribu, dan sangat saya
rekomendasikan. Mengajak kita untuk makan di rumah dengan makanan tradisional,
dibanding makan junk food atau fast food. A real healthy lifestyle.
Komentar