Langsung ke konten utama

The Weather Makers by Tim Flannery

Jika ingin membaca cerita kumpulan riset menyeluruh dan mendetail tentang dampak perubahan iklim (climate change/global warming) terhadap biodiversitas (keragaman spesies) dan kehidupan di Bumi, maka The Weather Makers adalah sumber yang tepat. Dalam buku yang terbit tahun 2006 ini, Flannery menjelaskan akibat perubahan iklim terhadap hilangnya spesies-spesies dan menyusutnya keragaman (variasi) makhluk hidup di berbagai lokasi di Bumi. Ia melengkapi narasinya dengan riset dan gambar-gambar model komputer yang menunjukkan betapa mengerikannya bumi kita bila perubahan iklim dibiarkan terus menerus.
Di sisi lain, ia sangat sedikit menjelaskan penyebab perubahan iklim atau pemanasan global tersebut. Dari 359 halaman, hanya 50 halaman yang didedikasikan kepada penyebab climate change. Ia langsung melompat dan menyalahkan industri kendaraan, pembangkit listrik tenaga fosil, dan pertanian sebagai penyebab perubahan iklim. Tidak heran, karena antagonis dalam Weather Makers adalah CO2 (yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor dan pembangkit listrik uap bertenaga batubara), dan metana (dihasilkan oleh pertanian, peternakan, dan uap air yang berasal dari manusia dan permukaan laut).

Kurangnya paparan mengenai penyebab perubahan cuaca ini sangat disayangkan, karena Flannery sudah membuka bagian awal buku dengan uraian detail dan mudah dimengerti tentang atmosfer bumi, yang dinamainya Great Aerial Ocean (Gaia). Di awal, bab Great Aerial Ocean, Flannery berhasil menjelaskan komposisi, kandungan dan pergerakan atmosfer, serta interaksi atmosfer dengan Samudera (Ocean) dalam menciptakan iklim dan cuaca, dalam bagian pertama buku ini: Gaia’s Tools. Sangat disayangkan bahwa ia langsung melompat dari atmosfer ke bencana-bencana di berbagai belahan dunia akibat perubahan iklim, dan langsung saja menyalahkan peradaban manusia, dan bahan bakar fosil. Seharusnya ia bisa membuat transisi yang lebih mulus antara cara kerja atmosfer dan penyebab perubahan iklim. Sepertinya, Flannery terlalu berfokus pada keinginan Naturalistnya untuk menguliahi pembacanya tentang dampak perubahan iklim.
Jika dibandingkan dengan buku The Moral Case for Fossil Fuels karya Alex Epstein, Weather Makers mengambil posisi kebalikan. Bila Epstein berpendapat bahwa energi fosil baik bagi peradaban manusia, Flannery berpendapat bahwa energi fosil dan manusia merusak bumi. Persamaan di antara keduanya adalah sama-sama mendukung penggunaan nuklir sebagai sumber energi masa depan.
Kekurangan paling mencolok dari Weather Makers adalah judulnya yang menjebak. Alih-alih menjelaskan unsur-unsur pembentuk cuaca dan bagaimana cuaca (dan iklim) mempengaruhi manusia, buku ini justru menjelaskan akibat-akibat perubahan iklim, lengkap dengan ramalan-ramalan buruk [yang saat ini justru tidak terbukti] tentang bencana dan kemusnahan umat manusia. Singkat kata, isi buku ini hanya mengipasi ketakutan-ketakutan kita yang paling buruk terhadap perubahan iklim. Dasar ramalan-ramalannya adalah model-model komputer cuaca yang saat ini terbukti sangat tidak akurat meramalkan cuaca. Kekurangan lainnya adalah cetakan tulisannya yang kecil-kecil dan susah dibaca (pinjam versi fisik dari perpustakaan), kalimat-kalimatnya yang panjang tanpa jeda, dan banyaknya istilah-istilah meteorologi dan kimia yang sulit dimengerti.
Bagian paling bagus dari Weather Makers adalah kertasnya (agak kuning, tidak merusak mata), narasi-narasi keragaman biologisnya yang informatif membuat pembaca jadi tahu spesies-spesies tidak terkenal yang terlanjur punah, dan solusi-solusi yang ditawarkan agar perubahan iklim tidak semakin buruk. Flannery menawarkan solusi pembangkit listrik tenaga nuklir, dan pembangkit listrik tenaga geotermal bagi solusi energi. Ia juga menganjurkan kita memakai mobil hibrida seperti Toyota Prius, dan memasang panel surya di atap rumah sebagai sumber energi sehari-hari.
Buku yang diterbitkan Grove Press ini bisa dibeli di Google Play seharga IDR 161 ribu. Cukup 2 dari 5 bintang untuk The Weather Makers.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bagus Serap Air

    Konsekuensi dari tinggal di kamar kos dekat pohon besar adalah kamar yang lembab. Begitu pula dengan kamar saya. Tepat di depan kamar menjulang pohon mangga. Kaum tetumbuhan setiap malam rajin mengeluarkan karbon dioksida dan uap air sepanjang hari. Tidak heran kamar saya menjadi lembab, rentan jamur, baju dan buku terancam lapuk.     Untuk itulah saya memerlukan desiccants alias penyerap lembab yang dapat menyerap uap air dengan kuat. Saya pun mencoba Bagus Serap Air varian 450 ml sekali pakai. Bahan Aktif yang digunakan ialah butiran kalsium klorida (CaCl). Hasilnya? Dalam waktu 30 hari satu wadah penuh terisi cairan air dan garam yang berasal dari kelembaban di kamar saya.

Teh Tarik

Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, minuman bernama teh tarik ini bisa dibilang barang baru. Minuman yang berasal dari campuran teh hitam dengan susu ini baru dikenal awal tahun 200an, saat beberapa restoran menawarkan menu-menu ala negeri jiran, terutama Malaysia dan Singapura. Teh tarik biasa disajikan bersama roti bakar dan wafel di restoran-restoran ini.     Teh tarik sering rancu diartikan sebagai teh susu. Walau benar sebagian, ada perbedaan kecil antara teh tarik dan teh susu. Teh tarik adalah teh susu yang dituang bolak-balik di antara dua gelas besar sehingga menghasilkan cita rasa yang khas. Teh susu yang biasa disajikan di booth-booth berbagai merek teh biasanya hanya teh hitam dicampur susu yang dikocok beberapa saat dengan es batu.

Istilah Kuliah : Share Swap (Tukar Saham)

Beberapa minggu yang lalu bursa saham dihebohkan oleh kegiatan share swap yang dilakukan Telkom (melalui anak perusahaannya, Mitratel) dengan Tower Bersama Infrastructure (TBIG). TLKM akan menukar 49% kepemilikannya di Mitratel dengan kepemilikan 5.9% atas TBIG. Detailnya: TLKM (pasca transaksi) punya 5.9% hak kepemilikan atas TBIG, sedangkan TBIG punya 49% kepemilikan di Mitratel. TLKM menyerahkan kepemilikan atas 49% saham Mitratel dengan kepemilikan atas 5.9% saham TBIG.