Satu hal yang bisa dipelajari
dari membesarnya skala perusahaan (economies
of scale) adalah adanya sejumlah hal yang perlu dikorbankan atau ditiadakan
(trade-off) saat perusahaan beranjak
dari usaha kecil/menengah ke perusahaan besar. Bagi perusahaan makanan dan
restoran, hal itu adalah nutrisi dan kualitas makanan. Bagi industri ritel,
pengorbanan berarti berkurangnya interaksi penjual atau pramuniaga dengan pembeli.
Bagi perusahaan manufaktur, pengorbanan berupa otomatisasi rantai produksi yang
berarti berkurangnya jumlah karyawan. Trade
off tersebut perlu dilakukan atas nama efisiensi, pertumbuhan penjualan,
dan pada akhirnya: keuntungan (laba).
image belongs to |
Dalam perjalanan mencari laba,
terkadang perusahaan menggilas lawan-lawan yang jauh lebih kecil. Alfmart melindas
pedagang kelontong kecil-kecilan. KFC menggilas warung ayam goreng. Starbucks warung
kopi. Direksi perusahaan terkadang enggan melakukannya, terkadang mereka lebih
suka berkolaborasi atau kerja sama dengan mitra lokal. Namun, mereka tidak
dibayar untuk itu. Mereka dibayar untuk meningkatkan laba perusahaan, yang dijustifikasi
oleh laba kuartalan atau laba akhir tahun perusahaan, dan kenaikan harga saham.
image belongs to |
Apakah kita, sebagai konsumen,
diam saja melihat warung kelontong dan warung kopi dilindas perusahaan besar? Kita
bisa diam, atau kita bisa bertindak. Bertindak tidak selalu berarti demo plus
bakar ban dan berteriak-teriak kalap.
image belongs to |
Hal terkecil yang bisa kita
lakukan adalah tetap berbelanja di toko atau warung lokal. Walau WiFi Circle K
dan Sevel gratis, cukuplah datang ke situ seminggu atau dua minggu sekali saja.
Makanlah di warung atau kaki lima di dekat kediaman. Berbelanjalah di toko
kelontong atau swalayan lokal. Jika tinggal di Jawa Barat, berbelanjalah di
YogyaMart. Penghuni Surakarta berbelanjalah di Luwes. Warga Sleman
berbelanjalah di Mirota atau Putera Kampus. Warga Bantul dan Wonosari, belilah
kebutuhan pokok di Pamella. Dengan berbelanja di pedagang lokal, perekonomian
mereka akan terangkat, sehingga mereka akan menyerap lebih banyak tenaga kerja
lokal, sehingga pengangguran berkurang dan kejahatan menyusut.
Belilah pulsa dari
konter/warung pulsa, jangan lewat Indomaret, Alfamart atau ATM. Selisih pembelian
pulsa kitalah yang menghidupi dapur mereka. Naiklah taksi atau ojek dari
pengusaha lokal, jangan naik BlueBird atau Express, kecuali anda tinggal di
daerah yang tingkat kejahatannya tinggi. Naik angkutan umum lebih baik lagi.
Berbelanjalah sayur, buah dan
bahan makanan segar lainnya di pasar lokal atau di pedagang sayur yang lewat
depan rumah. Kalau butuh camilan, belilah puthu, martabak, pukis, leker, kue
cucur, atau rujak dari pedagang kaki lima, jangan beli kripik atau biskuit junk food semacam Lays atau Oreo. Bahkan
bakso yang penuh tepung singkong (mocaf) pun masih lebih baik dibanding ratusan
bahan kimia yang terkandung dalam Oreo.
Jika di area kota atau desa
anda ada area khusus kaki lima, makan atau jajanlah di situ, jangan di warung
kaki lima yang mangkal di trotoar. Kalau area khusus kaki lima ramai, otomatis
pedagang kaki lima pinggir jalan akan pindah ke area khusus tersebut untuk
mengejar konsumen yang lebih banyak, dan karena semakin sedikit orang yang membeli
produknya ketika ia berjualan di trotoar (sepi pelanggan). Bagaimanapun,
pedagang kaki liama perlu ditertibkan agar tidak sembarangan berjualan di tepi
jalan atau membuang sampah ke selokan.
Kalau punya tetangga atau langganan
mbak/abang ojek, berdayakan mereka sebagai pengantar makanan di kala malas,
sakit, atau sibuk. Selisih 5-10 ribu lebih mahal tak apa, dibandingkan
kerepotan dan waktu yang terbuang kalau kita membeli sendiri.
Jika saudara atau kerabat
hendak menginap di losmen atau hotel, arahkan ke hotel lokal yang bereputas
bagus dan bersih. Dengan demikian mereka akan terkesan dan merekomendasikan
hotel tersebut ke kolega-koleganya. Di Magelang, hotel lokal paling bagus adalah yang
termahal, jadi kadang saya merekomendasikan wisma-wisma tentara yang bertebaran
di seputar Kodam. Memang tidak dapat sarapan, hanya teh pagi, tapi kebanyakan
sepupu senang sekali dengan kebersihan dan pemandangan taruna dan bintara yang berolahraga
di pagi hari (plus mendadak religius, shalat subuh dan isya’ di masjid Kodam). Menurut
mereka, dengan tarif hanya IDR 175ribu/malam (IDR 250ribu untuk wisma paling
bagus), mereka mendapat manfaat yang jauh lebih banyak (cuci mata, kasur empuk,
AC, kamar mandi bersih).
Tindakan-tindakan yang saya
anjurkan di atas tidak bermaksud menghalangi atau mengurangi pasar perusahaan-perusahaan
besar, tapi mengajak konsumen kecil lebih peduli terhadap perekonomian loka. Kalau
semua orang makan di KFC dan berbelanja di Carrefour, pengusaha dan warung
lokal lama kelamaan akan gulung tikar karena kekurangan pembeli. Interaksi antar
manusia juga berkurang dan menyusut, digantikan oleh otomatisasi.
Dengan lebih sering berbelanja
di toko dan warung lokal, kita ikut memutar uang dan menghidupkan perekonomian
lokal. Jika uang yang berputar di suatu desa atau kota kecil semakin cepat dan
semakin banyak, akan semakin banyak juga angkatan kerja yang terserap, entah sebagai
karyawan atau wirausaha baru. Dengan demikian pengangguran berkurang, APBD
pemerintah lokal meningkat, dan ada lebih banyak uang yang bisa dibelanjakan untuk
memperbaiki dan memperbarui infrastruktur atau mengadakan pesta rakyat. Semakin
banyak pesaing yang tidak bisa dibunuh atau diabaikan membuat perusahaan besar
lebih cepat dan lebih serius berinovasi, yang akhirnya memberi keuntungan juga
kepada kita sebagai konsumen dan investor (kalau kita punya saham di perusahaan
tertentu).
NB: tulisan ini terinspirasi
dari Fast Food Nation karya Eric Schlosser dan akun gerakan @legalmelawan
Komentar