Novel kedua yang berkesan dan terus
menghantui saya adalah Jalan Lain Ke Tulehu dari Zen RS. Novel yang diadaptasi menjadi
film terbaik tahun 2014 dengan judul yang sama ini berkisah tentang konflik
multi dimensional di Ambon dan kekuatan kenangan. Gentur, seorang wartawan feature yang ditugaskan di Ambon,
menyaksikan dan mengalami sendiri kompleksnya situasi konflik di Ambon. Di
tenga-tengah konflik, kenangan almarhum kekasihnya dan konflik 1998 berhamburan
di ingatannya, mengungkit kembali pertentangan batin lama: berbohong untuk
menyelamatkan nyawa versus jujur tapi tewas. Novel ini secara mengejutkan
berhasil menggambarkan konflik tanpa tendensi menghakimi. Ada sejarah yang
bertaut prasangka, ingatan yang dibelokkan, adu kuat kepentingan, dan dialog
yang gagal. Ada pula peran “pendakwah” dari luar Ambon yang justru memperkeruh
suasana dengan memaksakan nilai moral mereka sendiri.
Walau tidak terlalu tebal, Jalan Lain Ke Tulehu
cukup sulit diselesaikan karena sebagian besar dialog menggunakan bahasa Ambon.
Kemampuan Zen RS merangkai kata dan
alinea yang membuat pembaca berempati. Membuat saya harus berhenti tiap
beberapa lembar untuk menenangkan diri dan mengulang halaman-halaman depan.
Kemampuan penulis merangkai plot dan alur yang mengalir tapi tetap membuat
pembacanya enggan melepaskan buku patut diacungi jempol. Jalan Lain ke Tulehu
mungkin tidak menghanyutkan seperti Supernova, tapi novel ini sanggup membuat
kita bertanya-tanya: kenapa konflik agama terus-menerus hadir dan memakan
korban orang yang tidak tahu apa-apa?
Berbeda dengan versi layar peraknya, porsi
sepakbola dalam versi novel ini lebih sedikit. Sepakbola, dan sejarah
pemain-pemain sepakbola Indonesia asal Tulehu, hanya memakan porsi 20% dari
keseluruhan cerita, berbeda dengan versi filmnya yang mencapai 70%. Porsi
konflik jauh lebih besar. Bagi pembaca yang baru tertarik membaca novelnya
sesudah menonton versi film, buku ini seolah melengkapi dan memberi penjelasan tentang konflik Ambon.
Kekuatan dialog, penggunaan alur kilas-balik yang tidak biasa, dan penuturan
konflik yang tidak menghakimi membuat buku ini layak mendapat 4 dari 5 bintang.
Komentar