Novel fiksi ketiga yang saya baca di bulan
Januari 2016 adalah The Maze Runner karya James Dashner. Tiga dari empat novel
yang dibaca di bulan Januari 2016 sudah saya tonton versi film adaptasinya.
Secara tidak langsung saya penasaran akan versi novelnya. Kebetulan
perpustakaan daerah baru saja merilis keempat buku tersebut untuk dipinjamkan.
Maka jadilah saya meminjam Supernova:KPBJ, The Maze Runner, dan Jalan Lain ke
Tulehu.
Pertama kali menonton The Maze Runner saya
tidak terlalu terkesan. Tema dystopia atau post-apocalyptic yang sama sudah
pernah diangkat oleh Trilogi Divergent atau Hunger Games. Anak-anak yang
dikurung dan diminta mencari jalan keluar sudah pernah difilmkan lewat The
Hunger Games. Bagi saya, daya tarik Maze Runner hanyalah kumpulan bintang
serial televisi Game of Thrones dan Teen Wolf yang unyu-unyu. Versi film Maze
Runner adalah film yang enak dinikmati sambil makan pecel lele atau mangut
patin, tidak beda jauh dengan berita sampah di televisi. Versi novelnya mirip.
Bedanya: penulis novel lebih bisa menarik pembaca untuk terus penasaran dengan
nasib tokoh-tokohnya dibanding versi filmnya. Kemampuan mendramatisasi cerita
Dashner lebih bagus ketimbang sutradara versi film.
Penokohan sebagian besar karakter utama
seperti Thomas, Teresa, Newt, dan Minho sama. Tapi versi novel lebih bagus
menggambarkan konflik antar karakter, sementara versi film sangat baik
memvisualkan perjuangan remaja-remaja Glader keluar dari labirin. Tiga dari 5
bintang untuk The Maze Runner.
Komentar