Kalau
membaca Suara Merdeka atau Kedaulatan Rakyat, terutama di bagian opini, kita
sering menemukan kata-kata “demokrasi di Indonesia sudah kebablasan”. Jujur saja,
hal ini mengusik logika saya, sebetulnya sampai batas mana demokrasi dikatakan
cukup?
Kalau
kita melihat negara-negara demokrasi maju, terlihat bahwa mereka bisa
mengadakan pemilu tiap tahun. Ada pemilihan kepala daerah, pemilihan anggota
parlemen pusat dan daerah, pemilihan anggota majelis tinggi dan rendah. Mengutip
Eric Weiner dari The Geography of Bliss, sebuah negara sangat demokratis
seperti Swiss bisa mengadakan pemilu sampai 6 kali dalam setahun. Bandingkan dengan
Indonesia yang maksimal 3 tahun sekali.
Vox Populi Vox Dei. Suara Tuhan adalah suara rakyat. Adilkah
suara rakyat dibatasi? Tidak. Rakyat harus diberi kesempatan menggunakan hak
pilihnya semaksimal mungkin. Itulah keyakinan dasar negara-negara demokrasi. Makanya
mereka bisa mengadakan pemilu berkali-kali dalam setahun. Karena pemimpin adalah
pelayan rakyat dan Tuhan.
Disini,
sejumlah masyarakat dan media menyebut demokrasi Indonesia kebablasan, padahal Warga
Negara Indonesia cuma memberi suaranya 3 tahun sekali? Ada beberapa alasan.
Pertama:
nostalgia orde baru. Di masa orba tidak ada namanya kebebasan berpendapat,
apalagi memilih pemimpin sesuai hati nurani. Pejabat pemerintah seperti
presiden, gubernur atau walikota/bupati sudah diketahui sebelum pemilu
diadakan. Masyarakat tinggal menerima apa yang sudah disuapkan kepada mereka. Mereka
tidak diharapkan bertanya apalagi menentang, cukup terima apa yang dikatakan
jendral besar.
Kedua:
karena sudah terbiasa disuap dan dibungkam, mereka tidak terbiasa dengan perbedaaan
pendapat, perdebatan, dan ekspresi kebebasan. Maka aksi demontrasi atau uji
materi di Mahkamah Konstitusi pun dipandang sebagai demokrasi yang kebablasan.
Ketiga:
mereka, media dan masyarakat yang mengatakan demokrasi sudah kebablasan tersebut,
sudah menikmati berbagai kemudahan dan keberuntungan di masa orba. Maka mereka
memandang keteraturan dengan kekerasan lebih baik dibanding kebebasan dengan tanggung
jawab. Mereka lupa bahwa ada mayoritas rakyat lain yang menderita dijajah orde
baru dan berjuang mendapatkan hidup layak dan kebebasan berpendapat, alias
demokrasi.
Demokrasi,
walau tidak sempurna, memungkinkan tiap orang punya kesempatan yang sama untuk
memperjuangkan haknya dan meraih hidup yang layak. Hal ini bisa mengancam
orang-orang yang sudah keenakan hidup di bawah monopoli orba. Makanya mereka
tidak setuju dengan demokrasi.
Sampai
saat ini, saya belum menemukan sampai batas mana demokrasi diterapkan. Demokrasi
memerlukan kerelaan dan perjuangan semua pihak untuk melakukan mekanisme check & balance terhadap proses
demokrasi. Betul, mungkin demokrasi membuat kita memilih seorang Hitler atau soeharto
lagi. Maka dari itu dituhkan kerjasama semua pihak agar hal itu tidak terjadi.
Komentar