Saya
tidak percaya akhirnya saya menulis tentang calon presiden (capres). Sejauh ini
saya sudah menetapkan pilihan, the good
one, capres yang tidak akan menembak atau menculik saya hanya karena
berbeda pendapat, capres yang hasil kerjanya sudah saya nikmati selama di Solo.
Oke,
Debat Calon Presiden. Sebetulnya apa fungsi debat capres? Mengutip pernyaan
salah satu moderator, Zainal Arifin Mochtar, debat capres berfungsi menggeser
proses memilih dari emosional ke rasional. Dengan menonton debat capres, kita
bisa tahu mana program capres yang rasional dan mana yang cuma omong kosong. Kita
bisa tahu mana capres yang kebanyakan membual dan mana yang rasional.
Selain
itu, debat capres membuat pemilih bisa membandingkan kandidat yang bertarung dengan
presiden sebelumny. Pemerintahan sebelumnya bagus, tapi masih banyak kekurangan
yang seharusnya bisa diatasi, tapi dibiarkan hingga melebar, seperti ormas
Islam yang doyan membakar dan menjarah, dan kesenjangan ekonomi yang melebar. Capres
pertama cuma bisa omong kosong, yang kedua sudah teruji.
Efek
langsung dari debat capres adalah pemirsa dan orang-orang awam seperti saya
jadi tahu kebijakan luar negeri dan istilah-istilah asing. Capres nomer dua yang
berpengalaman di pemerintahan banyak melontarkan istilah asing tapi lekat dengan
kehidupan kita. Contohnya: TPID, tank Anoa, pelabuhan laut dalam, dan lain-lain.
Jujur saja, sebelum debat capres saya tidak tahu ketiga istilah itu. Tapi seusai
debat, saya rajin mencari arti dari kata-kata di atas dan pengaruhnya bagi
masyarakat.
Tentu
saja, debat capres tidak bisa langsung mengukur kinerja mereka di lapangan. Salah
satu capres pengangguran kronis yang tujuan hidupnya hanya menjadi presiden,
sedangkan capres ke dua sudah belasan tahun bekerja mengabdi pada rakyat. Yang satu
cuma bisa membual omong kosong, yang ke dua tahu praktek dan bagaimana
melaksanakan program-programnya.
Sayangnya,
masyarakat kita lebih suka pemimpin militer yang besar mulut dan suka menebar
janji dibanding pemimpin yang terbukti kinerjanya.
Komentar