Langsung ke konten utama

Piala Dunia yang Senyap

Gelaran Piala Dunia sudah memasuki fase Final. Akan berlaga dua tim yang memperebutkan trofi Jules Rimet, Jerman versus Argentina. Hasil Final ini meleset dari ramalan banyak analis dan bursa taruhan (kebanyakan menjagokan Brazil versus Argentina, tapi Brazil sudah dilindas tim Panser 7-1 di semifinal). Tapi, terasa ada yang kurang dari Piala Dunia kali ini.

Apa itu? Keriaannya. Antusiasnya. Euforianya. Hajatan sepakbola terbesar itu, tahun ini tidak semeriah 4 tahun yang lalu. Memang masih ada acara nonton bareng, tapi tidak seheboh saat di Afrika Selatan atau Jerman. Tidak ada orang-orang yang ribut membicarakan negara jagoannya, atau perkiraan hasil pertandingan di warung atau rumah makan. Koran-koran masih bersemangat mengulas, tapi jumlah artikel liputannya tidak sebanyak 4 tahun yang lalu. Tempat-tempat makan, rumah dan kos-kosan hanya ramai saat im tertentu bertanding (kos putri khususnya, hanya ramai saat Jerman bertanding). Masyarakat Indonesia tidak seantusias dulu dalam menikmati Piala Dunia.
Sebagian penyebabnya karena Piala Dunia kali ini bertabrakan dengan Pemilihan Presiden. Masyarakat lebih suka membahas calon presiden pilihannya, capres mana yang lebih baik atau penampilan mereka dalam debat capres. Semua orang merasa kali ini suara mereka benar-benar lebih berharga karena hanya ada 2 pasang capres-cawapres yang berlaga. Every vote count.
Penyebab kedua adalah mahalnya biaya nonton bareng. Televisi pemegang hak cipta mematok harga luar biasa tinggi untuk menggelar acara nonton bareng. Akibatnya hanya sedikit kafe atau rumah makan yang bersedia berpartisipasi.
Ketiga: kedua tivi Bakrie pemegang hak cipta tidak terlalu agresif memasarkan hak siar Piala Dunia. Mereka lebih suka melakukan kampanye hitam dengan memfitnah salah satu capres (mulai dari isu SARA sampai komunis, semua dilemparkan). Sehingga, penonton hanya berminat menonton kalau pertandingan betul-betul sudah dimulai dan cacian dari penyiar tv sudah berhenti.

Terakhir, Piala Dunia kali ini, mulai dari fase 16 besar, dimulai bersamaan dengan bulan Ramadhan. Sebagian besar umat muslim lebih suka i’tikaf di masjid dibanding menonton sepakbola yang highlightnya bisa dinikmati lewat Youtube.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bagus Serap Air

    Konsekuensi dari tinggal di kamar kos dekat pohon besar adalah kamar yang lembab. Begitu pula dengan kamar saya. Tepat di depan kamar menjulang pohon mangga. Kaum tetumbuhan setiap malam rajin mengeluarkan karbon dioksida dan uap air sepanjang hari. Tidak heran kamar saya menjadi lembab, rentan jamur, baju dan buku terancam lapuk.     Untuk itulah saya memerlukan desiccants alias penyerap lembab yang dapat menyerap uap air dengan kuat. Saya pun mencoba Bagus Serap Air varian 450 ml sekali pakai. Bahan Aktif yang digunakan ialah butiran kalsium klorida (CaCl). Hasilnya? Dalam waktu 30 hari satu wadah penuh terisi cairan air dan garam yang berasal dari kelembaban di kamar saya.

Teh Tarik

Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, minuman bernama teh tarik ini bisa dibilang barang baru. Minuman yang berasal dari campuran teh hitam dengan susu ini baru dikenal awal tahun 200an, saat beberapa restoran menawarkan menu-menu ala negeri jiran, terutama Malaysia dan Singapura. Teh tarik biasa disajikan bersama roti bakar dan wafel di restoran-restoran ini.     Teh tarik sering rancu diartikan sebagai teh susu. Walau benar sebagian, ada perbedaan kecil antara teh tarik dan teh susu. Teh tarik adalah teh susu yang dituang bolak-balik di antara dua gelas besar sehingga menghasilkan cita rasa yang khas. Teh susu yang biasa disajikan di booth-booth berbagai merek teh biasanya hanya teh hitam dicampur susu yang dikocok beberapa saat dengan es batu.

Istilah Kuliah : Share Swap (Tukar Saham)

Beberapa minggu yang lalu bursa saham dihebohkan oleh kegiatan share swap yang dilakukan Telkom (melalui anak perusahaannya, Mitratel) dengan Tower Bersama Infrastructure (TBIG). TLKM akan menukar 49% kepemilikannya di Mitratel dengan kepemilikan 5.9% atas TBIG. Detailnya: TLKM (pasca transaksi) punya 5.9% hak kepemilikan atas TBIG, sedangkan TBIG punya 49% kepemilikan di Mitratel. TLKM menyerahkan kepemilikan atas 49% saham Mitratel dengan kepemilikan atas 5.9% saham TBIG.