Politik selalu menarik karena
melibatkan drama yang bisa ditonton semua orang. Saat pemilu atau pembuatan
undang-undang baru, selalu muncul kebingungan tentang apa yang sebenarnya
dilakukan para wakil rakyat itu. Di saat itu, beberapa forum diskusi terkadang
menyinggung serial televisi atau tontonan yang memberi penontonnya hiburan
sekaligus pemahaman tentang politik. Saat ini, ada 3 serial televisi yang
terkadang disinggung saat perdebatan politik memanas, yaitu: The West Wing,
Hous of Cards, dan Veep.
Pangeran Siahaan, seorang
komentator sepakbola pernah menulis: di The West Wing, powerful people melakukan hal-hal baik. Di House of Cards, powerful people melakukan hal-hal
mengerikan. Di Veep, powerful people melakukan
hal-hal bodoh. Indonesia, sialnya, lebih menyerupai Veep. Saya sudah menonton
ketujuh season serial The West Wing,
dan setuju dengan pendapat di atas. Sasaran binge-watching
selanjutnya adalah House of Cards.
Serial dari saluran
televisi khusus internet, Netflix, ini
sekarang sudah menamatkan ketiga seasonnya.
Satu season terdiri atas 13 episode.
Dibintangi oleh Kevin Spacey dan Robin Wright, serial ini hanya bisa dinikmati
jika kita berlangganan Netflix dan punya saluran internet supercepat. Jika
tidak, bersiaplah meminjam ke rental DVD terdekat. Di awal penayangannya 3
tahun lalu, serial ini sudah memanen pujian karena kepiawaian akting
bintang-bintangnya.
Francis Underwood adalah
seorang pengumpul suara (the Whip)
Partai Demokrat di Kongres Amerika Serikat (alias DPR). Ia sudah dijanjikan
posisi Menteri Luar Negeri, tapi di saat terakhir pesaingnya berhasil
mendapatkan nominasi untuk posisi tersebut. Ia pun bersumpah akan membalas
dendam kepada orang-orang yang menghalangi pencalonannya, dengan cara merebut
posisi Presiden. Dengan bantuan istrinya, Claire Underwood, dan asisten
setianya, Doug Stamper, mereka merancang strategi tiap malam untuk mewujudkan
rencana mereka.
Menonton House of Cards sangat
tepat jika anda sudah membaca Sang Pangeran, masterpiece dari Nicolo Macchiavelli. Seorang politisi atau
penguasa harus taktis, tahu cara memainkan kartunya dengan tepat, pandai
mencari dukungan, serta lihai memanipulasi kawan, lawan, dan pendukung. Ia juga
harus tegas dan kejam, karena tanpa kedua hal tersebut tidak ada gunanya
bermain politik.
Dalam hal idealisme cerita,
penonton dibuat merinding sekaligus terkesima menyaksikan manuver-manuver
politik Frank dan Claire. Keduanya adalah master dalam perencanaan dan eksekusi
jangka panjang. Mereka pandai menentukan situasi, kapan berkata jujur dan kapan
bermuka dua. Mereka tidak buru-buru mengecap hasil perencanaan atau segera
membalas lawan-lawannya, tapi memilih bersabar dan menunggu demi hasil yang
lebih manis.
Sama seperti The West Wing,
House of Cards memberi penontonnya lebih banya pelajaran tentang politik
dibanding bangku kuliah. Bahwa terkadang untuk melakukan hal-hal baik, seorang politisi
harus melakukan hal-hal mengerikan. Bahwa tanpa dukungan rakyat di daerah
pemilihannya, seorang politisi bukanlah apa-apa. Bahwa berjalannya pemerintahan
sesungguhnya kerja tim atanra eksekutif (presiden dan pembantu-pembantunya),
partai pendukung sang presiden sekaligus oposisi. Pemerintahan sulit berjalan
seimbang jika tidak ada oposisi yang mengoreksi mereka.
Selama 55 menit penayangan
dalam satu episode, penonton tidak akan dibuat terpesona oleh dialog cerdas dan
bermutu ala The West Wing atau Leverage. Tapi kita akan terperangah menyaksikan
reaksi seseorang saat sesuatu diucapkan, atau terkejut saat menyadari rencana
Frank dan Claire yang terwujud. Setiap episode House of Cards bisa dibilang
sangat memuaskan. Kekurangannya: cliffhanger
di tiap akhir episode kurang kuat menarik penonton atau memaksa mereka
menonton episode selanjutnya. Mungkin karena serial ini ditayangkan di televisi
internet, jadi penonton otomatis bisa langsung melanjutkan ke episode
selanjutnya, tidak perlu menunggu seminggu seperti serial televisi biasa.
Komentar