image courtesy of www.montroselibrary.org |
Lama kelamaan, saya
berhasil menemukan trik untuk melancarkan ide menulis. Yaitu dengan membaca,
mengamati dan mengasosiasikan. Beberapa hal yang sering saya baca dan amati
antara lain : berita (baik di televisi, koran, atau media online), novel, film, buku non-fiksi (terutama buku psikologi dan
motivasi), percakapan dan manusia. Begitu mendapat ide dari hal-hal diatas,
sekecil dan seremeh apapun, akan saya asosiasikan dengan hal-hal yang saya
ketahui atau kenal baik. Lalu saya akan mengasah analisa dan imajinasi saya
seliar mungkin.
Ketika ada suatu
berita, entah di televisi atau di koran atau di media online. Tema dan pesan utama berita saya hubungkan dengan kejadian
sejenis di masa lalu atau di novel. Sudut pandang, kepentingan dan opini
pembawa pesan pun bisa jadi bahan tulisan menarik. Misa berita bank Century
(sekarang bank Mutiara) yang selalu muncul setiap ada kegagalan pemerintah.
Kita bisa membandingkan kejadian sejenis di Eropa (dimana bailout itu wajib dan halal), sudut pandang pembawa berita (setuju
atau mencerca) dan opini si pembawa berita (kenapa dia setuju atau mencela).
Jenis atau tema
berita, entah berita ekonomi, sosial, politik, olahraga,seni, kesehatan,dan lain-lain juga bisa
mendatangkan ide. Tinggal bagaimana kita menganalisa, mengasosiasikan dan
berimajinasi dengan berita terkait.
Saat menonton film
atau membaca novel fiksi, kita bisa menarik ide dari latar belakangnya, lokasi,
setting waktu, dinamika
masyarakatnya, kebudayaan masyarakatnya, tema, pesan gaya penuturan, sudut
pandang penulis, dan lain-lain.
Misalnya novel atau
film Sherlock Holmes. Setting waktunya
London 1890an, saat Inggris masih berada di era post-Victorian, ketika masyarakatnya belum sadar kebersihan dan
penerangan masih temaram. Gaya penulisan linier, dengan sudut pandang orang
pertama (John Watson) dan ketiga. Tema: thriller
dan petualangan. Dari tema atau setting waktunya
saja kita bisa mendapat ide London abad 19 atau petualangan macam apa yang
menarik bagi kita.
Dari percakapan, kita
bisa menarik ide dari hal apa yang dibicarakan, sudut pandang atau opini
orang-orang yang terlibat percakapan, atau isi obrolan yang mengingatkan kita
pada hal lain (mengasosiasikan percakapan). Kita tidak perlu terlibat dalam
pembicaraan, cukup dengan mendengarkan saja.
Kalau kita termasuk
orang yang introvert atau malu
bergaul, menyimak timeline di twitter atau menikmati twitwar adalah cara ampuh
untuk menggali ide dari percakapan. Terkadang, drama antar manusia nyata, entah
di twitter atau di dunia nyata, lebih menarik daripada sinetron. Kita bisa
berimajinasi membuat fiksi mini atau cerpen dari pembicaraan antar manusia.
Saat menyimak
pembicaraan atau twitwar kita tidak perlu melibatkan analisa dan prasangka (prejudice). Cukup kosongkan pikiran dan
dengarkan. Ketika twitwar atau percakapan berakhir, baru kita analisa atau
rekonstruksi dalam pikiran. Kita bisa menganalisa sudut pandang orang-orang
yang terlibat percakapan, opini mereka atau tema obrolan apa yang membuat
pelaku-pelakunya paling bersemangat. Kita juga bisa mengasosiasikan isi
pembicaraan dengan berita, film atau hal-hal yang pernah kita alami dan amati.
Hal hal sederhana
dari orang-orang yang terlibat percakapan atau twitwar pun bisa mendatangkan
ide. Seperti cara bicara, penampilan fisik, pilihan baju yang dipakai,
gerak-geriknya, cara tersenyum, cara berjalan atau cara makannya.
Kalau kita ingin
menulis sesuatu berdasar riset, maka tulisan-tulisan non fiksi, terutama yang
sudah berwujud buku adalah sumber tepat. Ambil saja sebagian kecil dari isi
buku sebagai ide tulisan pendek kita. Sumber valid seperti publikasi resmi atau
jurnal bisa langsung didapatkan dari daftar pustakanya. Yang perlu dilakukan
hanyalah menyajikan tulisan dalam bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti.
Ide bisa didapat dari
manapun. Kita “hanya” perlu menganalisa, mengasosiasikan, berimajinasi dan
menyajikan dengan cara yang kita sukai. Inilah caraku, mana caramu?
Komentar