Langsung ke konten utama

Pemasaran Produk Sekuritas



Sebetulnya sudah dari dulu saya gatal menulis kenapa produk-produk pasar modal kurang familiar di masyarakat umum, kenapa manajer investasi, sekuritas dan perbankan hanya menyasar kalangan berduit di perkotaan?
Kita mulai dari produk pasar modal yang paling banyak digunakan karena murah dan sering disosialisasikan, yaitu ORI, saham dan reksadana. Sebetulnya ada banyak priduk lain, seperti KIK EBA, MTN, Obligasi, dan lain-lain. Tapi 3 produk tersebut biasa dipasarkan pihak perbankan sehingga lebih familiar di masyarakat.

Kaum perkotaan mungkin banyak yang sudah tahu tentang ORI dan reksadana, karena gencarnya perbankan menawarkannya sebagai bagian dari wealth management. ORI banyak ditawarkan kepada nasabah superkaya dengan tabungan lebih dari 500juta rupiah. Reksadana ditawarkan oleh setiap Customer Service bila kita mampir atau mau complain.
Saham relatif kurang dikenal. Sedihnya, kebanyakan orang berinvestasi di saham karena tergiur potensi cepat kaya yang ditawarkan buku-buku forex, saham dan opsi. Pihak sekuritas, termasuk bank yang terafiliasi dengan sekuritas (Mandiri-Mandiri Sekuritas, Panin-ANZ Panin, dan lain-lain) juga tidak terlalu antusias menawarkan dan mengedukasi saham kepada nasabah-nasabahnya.
Padahal dengan meningkatnya jumlah kalangan menengah di Indonesia, produk-produk pasar modal masih bias berpotensi dipasarkan. Survey kecil-kecilan yang pernah saya lakukan di Solo dan Yogya, 2 dari 5 orang tahu ORI dan reksadana, tapi hanya 1 dari 120 orang yang punya reksadana. Saya belum menemui seorang pun yang punya ORI/SUKRI. 2 dari 5 orang tahu saham, tapi hanya 1 dari 50 orang yang punya saham. Biasanya yang sudah berinvestasi saham ini sudah berusia di atas 30 tahun.
Kenapa penetrasi produk pasar modal begitu rendah? Kenapa bisa kalah dengan produk asuransi?
Dari pengamatan saya, ada beberapa hal yang bias menjawab pertanyaan di atas. Penetrasi produk-produk pasar modal sangat rendah karena:
1.    Komisi penjualannya kecil
Untuk setiap reksadana yang terjual, sales hanya mendapat maksimal 2%. Komisi untuk ORI lebih kecil lagi, 0.35%. Paling kecil saham, cuma 0.08% dari nilai transaksi. Bandingkan dengan sales asuransi yang bisa meraup 40% dari nilai premi per bulan.
2.    Tidak bisa freelance
Berbeda dengan sales kartu kredit, asuransi atau perumahan, sales pasar modal tidak bisa dijadikan sambilan. Saya pernah menjumpai seorang sales sekuritas swasta yang mencoba freelance, tapi ia tidak bertahan lama.
Seorang sales pasar modal harus lulus ujian Waperd/WPPE, yang menyulitkan seorang tenaga pemasaran bekerja. Si sales pun harus diikat menjadi pegawai kantoran 9 to 5.
3.    Nasabah harus dilatih dan dimaintain terus menerus
Sekali mendapatkan seorang nasabah, sales harus menginformasikan berbagai berita dan perkembangan bursa efek nyaris setiap hari. Sales mobil atau rumah memang melakukannya juga. Tapi jumlah mobil atau rumah yang harganya harus dipantau tidak sebanyak reksadana atau saham LQ45 di bursa.
4.    Acara promosi harus membayar
Kecuali acara bulanan yang dilakukan Pusat Informasi Pasar Modal, 70% acara promosi atau sosialisasi yang berhubungan dengan pasar modal, entah roadshow, launching, promo, dan lain-lain) mewajibkan investor untuk membeli tiket seharga lebih dari 30ribu. Tiket memang berguna buat menyari peminat dari orang iseng. Tapi apa gunanya promo atau sosialisasi kalau orang-orang yang tidak tahu apa-apa tidak boleh masuk?
5.    Tidak pernah ada pemasaran over-the-line
Pernah lihat pemasaran khusus ORI, reksadana, saham di televisi? Pernah dengar di radio popular yang pendengarnya puluhan ribu per jam? Sangat jarang atau belum pernah kan? Satu-satunya wealth management yang gencar beriklan di media elektronik hanyalah Manulife. Manajer investasi atau sekuritas lain hanya beriklan kalau ada acara khusus investasi atau financial planning. Dan iklan-iklannya sama sekali tidak menarik ataupun informatif.
         Setiap manajer investasi, sekuritas atau bank tiap kali ditanya kenapa kurang gencar memasarkan produk pasar modal ke khalayak umum pasti berkilah ketiadaan anggaran iklan atau tipisnya margin keuntungan produk sekuritas. Kalau alasan tersebut benar, kenapa Manulife dan BNP Paribas bisa beriklan gencar dan tetap meraup untung?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bagus Serap Air

    Konsekuensi dari tinggal di kamar kos dekat pohon besar adalah kamar yang lembab. Begitu pula dengan kamar saya. Tepat di depan kamar menjulang pohon mangga. Kaum tetumbuhan setiap malam rajin mengeluarkan karbon dioksida dan uap air sepanjang hari. Tidak heran kamar saya menjadi lembab, rentan jamur, baju dan buku terancam lapuk.     Untuk itulah saya memerlukan desiccants alias penyerap lembab yang dapat menyerap uap air dengan kuat. Saya pun mencoba Bagus Serap Air varian 450 ml sekali pakai. Bahan Aktif yang digunakan ialah butiran kalsium klorida (CaCl). Hasilnya? Dalam waktu 30 hari satu wadah penuh terisi cairan air dan garam yang berasal dari kelembaban di kamar saya.

Teh Tarik

Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, minuman bernama teh tarik ini bisa dibilang barang baru. Minuman yang berasal dari campuran teh hitam dengan susu ini baru dikenal awal tahun 200an, saat beberapa restoran menawarkan menu-menu ala negeri jiran, terutama Malaysia dan Singapura. Teh tarik biasa disajikan bersama roti bakar dan wafel di restoran-restoran ini.     Teh tarik sering rancu diartikan sebagai teh susu. Walau benar sebagian, ada perbedaan kecil antara teh tarik dan teh susu. Teh tarik adalah teh susu yang dituang bolak-balik di antara dua gelas besar sehingga menghasilkan cita rasa yang khas. Teh susu yang biasa disajikan di booth-booth berbagai merek teh biasanya hanya teh hitam dicampur susu yang dikocok beberapa saat dengan es batu.

Istilah Kuliah : Share Swap (Tukar Saham)

Beberapa minggu yang lalu bursa saham dihebohkan oleh kegiatan share swap yang dilakukan Telkom (melalui anak perusahaannya, Mitratel) dengan Tower Bersama Infrastructure (TBIG). TLKM akan menukar 49% kepemilikannya di Mitratel dengan kepemilikan 5.9% atas TBIG. Detailnya: TLKM (pasca transaksi) punya 5.9% hak kepemilikan atas TBIG, sedangkan TBIG punya 49% kepemilikan di Mitratel. TLKM menyerahkan kepemilikan atas 49% saham Mitratel dengan kepemilikan atas 5.9% saham TBIG.