Beberapa
bulan terakhir ini referensi bacaan saya meluasa. Saya mulai membaca
karya-karya Tom Clancy, NH Dini, Pramoedya Ananta Toer, Louisa May Alcott
(terutama Juvenilia) dan sejumlah pengarang lain yang karyanya tidak masuk rak
best seller. Saya tidak lagi terkungkung pada karya Agatha Christie, Enid
Blyton, John Grisham atau Michael Crichton. Sejumlah referensi tambahan membuat
saya punya pandangan lebih luas soal jalan cerita dan alur kisah yang menjadi
daya tarik suatu cerita.
Salah
satu novel fiksi yang baru-baru ini saya baca adalah Inferno karya Dan Brown.
Buku ini dibaca bebarengan dengan Geography of Bliss dari Eric Weiner dan The
Prague Cemetery karya Umberto Eco. Kenapa? Karena Inferno ini membosankan
sekali. Alurnya lambat, penuh penjelasan dengan kalimat panjang-panjang.
Banyaknya kisah flashback yang diatur
acak dan dialog yang terlalu panjang mengurangi daya tarik fiksi ini. Untungnya,
ada subplot-subplot yang membuat pembaca penasaran dan bersedia terus mengikuti
kisah. Akhir cerita yang mengejutkan juga menjadi nilai plus Inferno.
Alkisah,
Robert Langdon terbangun dengan kondisi amnesia ringan di sebuah rumah sakit di
Florence, Italia. Ia lupa bagaimana caranya ia sampai di situ, apa yang
dilakukannya, dan kenapa ia bisa berakhir di rumah sakit dengan “luka tembak”.
Dalam kondisi puyeng dan lemah, ia tiba-tiba dikejar oleh “pembunuh” dan
dipaksa menyerahkan sesuatu yang ia tidak ketahui. Ia harus memecahkan
teka-teki yang merujuk pada bagian pertama mahakarya Divine Comedia karya Dante
Alighieri, yaitu Inferno (bagian kedua adalah Purgatory dan bagian ketiga
adalah Paradiso). Ditemani dokter Sienna Brooks, ia harus melacak lokasi persebaran
virus yang dilepaskan Bertrand Zobrist, “antagonis” kisah ini.
Tokoh
Zobrist dalam Inferno lebih bertindak sebagai hantu dari masa lalu dibanding
sosk nyata. Ia seolah muncul dari kedalaman neraka dan meneror semua tokoh
dalam Inferno. Tujuan dan aksinya sangat jelas tersurat, tapi caranya meneror
pikiran dan tindakan setiap orang sangat mempengaruhi jalan cerita.
Agak
sulit juga memahami jalan cerita subplot dari Inferno. Untungnya, saya juga
membaca Prague Cemetery, jadi ketika ada bagian yang membingungkan saya cukup
membuka bagian Italia di Prague Cemetery untuk mendapatkan penjelasan lebih
lanjut.
Buku
fiksi setebal 642 halaman yang diterbitkoan oleh Bentang Pustaka ini cukup lama
bertengger di rak best seller fiksi,
bersaing ketat dengan Cuckoo’s Calling dan Mockingjay. Nama besar Dan Brown
masih manjur menarik perhatian biblioholic
untuk mengoleksinya. Menurut saya pribadi, Inferno kurang sesuai untuk
dikoleksi atau dibaca berulang kali. Lebih sesuai untuk bacaan selingan. 2.5
dari 5 bintang
Komentar