Apa
acara tv impor terfavorit saat ini? Kalau ditanya ke remaja-remaja putri dan
ibu-ibu rumah tangga, pasti Mahabharata jawabannya. Kalau penggemarnya
anak-anak usia sekolah SD dan SMP di Jawa dan Bali saya masih bisa paham. Mereka
harus menonton acara ini untuk materi pelajaran muatan lokal. Tapi remaja putri
dan ibu rumah tangga? Sejujurnya saya tidak menyangka.
Bagi
penggemar karya sastra terutama mitologi India, Ramayana dan Mahabharata adalah
2 epos wajib. Ramayana lebih tipis dan sederhana ceritanya. Tidak ada konflik
peran, pertarungan kepentingan dan mind
games. Batas baik dan buruk jelas. Sisi ironis baru terlihat di akhir
cerita.
Mahabharata
lain lagi. Ceritanya super panjang dan merentang puluhan tahun. Ada konflik
peran, konflik batin, perebutan kekuasaan, kecerdasan bermain politik dan
kecermatan mengatur strategi di sini. Batas antara baik dan buruk tidak
terlihat jelas. Efek sebab akibat dan alasan yang mendasari perilaku tiap tokoh
dijelaskan dengan gamblang. Tiap tokoh antagonis tidak bisa langsung disalahkan
karena tabiat dan perilakunya.
Serial
TV Mahabharata mengadaptasi versi eposnya. Ada cerita yang ditambahkan, ada
bagian yang dihilangkan, tapi dengan esensi yang sama. Dialog-dialognya lebih
mengena dibanding versi epos dan wayang kulit. Satu paragraf di epos bisa mulur
menjadi 3 episode. Penyuka drama kelas berat dipastikan menikmati setiap adegan
danmomen, sehingga mereka semakin ketagihan menontonnya.
Hal
yang perlu dipunji dari serial ini adalah dedikasi pembuatnya (produser dan
eksekutif produser). Pemilihan aktor dan aktrisnya dibuat semirip mungkin dengan
versi epos. Kostumnya betul-betul menyesuaikan daerah asal dan karakter tiap
tokoh, misal kostum Sengkuni dan pengaturan cincin Yudhistira (tribute to @VeritasArdentur). Latar belakang
(background) dibuat seperti layaknya
istana kerajaan India sebelum dinasti Mughal. Riasan tiap karakter dibuat
mendetail dan sesuai kareakter. Busananya pun mengikuti adegan-adegan tiap
tokoh. Jadi jangan heran kalau Nakula bisa ganti kostum dan riasan sampai 4
kali dalam satu episode.
Dibandingkan
versi Mahabharata yang ditonton waktu saya kecil dulu (sekarang tayang di Jogja
TV), versi StarTV/ANTV lebih jernih gambarnya, lebih bagus animasinya, dan
lebih sesuai penggambaran karakternya.
Saya
jadi sedikit paham kenapa jutaan remaja putri dan ibu rumah tangga tergiur
melihat aktor dan aktrisnya. Sedari kecil, keenam putra Kunti (Karna + kelima
Pandawa) sudah imut dan tampan. Mungkin karena India dan Indonesia ada
persamaan fisik, keelokan penampilan cast
Mahabharata (macho, kotor, berantakan, pekerja fisik) lebih terasa wajar
dan nyata dibanding keelokan versi Korea (klimis, bersih, lentur menari).
Di
versi serial TV, Krishna ditampilkan berbeda dengan versi epos, wayang bahkan
kartun. Jika di ketiga versi itu Krishna dan Sembadra ditampilkan berkulit
hitam kebiruan, maka di versi serial TV kakak-beradik itu ditampilkan berkulit
cerah, bahkan cerah dibanding Arjuna atau Sadewa :0. Mungkin karena Krishna
juga bertindak sebagai narator cerita, maka ia dimodifikasi menjadi berkulit
cerah agar menarik perhatian penonton.
Kelemahan
serial ini, walau tidak mencolok, adalah animasi atau CGInya yang kurang
menyatu dengan aktris/aktornya. Apalagi saat menggambarkan dunia laut atau
langit. Kelihatan seperti tempelan. Untungnya akting pemeran-pemerannya mampu
menarik perhatian penonton sehingga mereka lupa akan kelemahan itu.
Dari
segi struktur cerita serial ini mungkin masih kalah dibanding Newsroom atau
Hannibal. Tapi dari segi dramaturgi, dialog atau twist, serial ini hanya bisa dibandingkan dengan Game of Thrones. Dan
Mahabharata masih unggul dibanding rival Eropanya itu.
Komentar