Langsung ke konten utama

Industri Makanan Olahan

image belongs to rebeccaalowe.blogspot.com
Ada sejumlah buku tentang industri makanan olahan yang sudah, sedang dan akan saya baca. Buku yang sudah dibaca baru 2, yaitu Salt Sugar Fat dan Pandora’s Lunchbox. Buku yang sedang direncanakan untuk dibaca ada 2 [juga], yaitu Fast Food Nation dari Eric Schlosser dan Mindless Eating dari Brian Wansink. Sebetulnya ada sejumlah buku lain di perpustakaan yang juga menyoroti industri makanan, tapi sejauh ini hanya 4 buku tersebut yang menarik perhatian saya dan bersedia dibeli. Salt Sugar Fat, Pandora’s Lunchbox dan Fast Food Nation kesemuanya tersedia di Google Play. Jika teman-teman seorang mahasiswa UGM, buku-buku tersebut juga tersedia di Perpustakaan Pusat UGM.
Apa yang ditawarkan keempat buku tersebut? Investigasi menyeluruh terhadap industri makanan olahan! Apa yang membuat mereka menambahkan semakin banyak gula, garam, lemak, vitamin dan mineral buatan? Kenapa mereka melakukannya? Bagaimana mereka menambahkan bahan-bahan tersebut? Bagaimana proses produksinya? Alat dan bahan apa saja yang digunakan? Siapa saja pemain (perusahaan) di industri makanan olahan Amerika Serikat? Dimana mereka mendapat alat dan bahan untuk kelangsungan operasional mereka? Kapan mereka mulai mengembangkan teknologi pengolahan makanan? Hampir semua pertanyaan di atas terjawab oleh ketiga buku tersebut.

Tidak seperti investigasi majalah Tempo atau investigasi karya wartawan Indonesia yang murni berisikan deduksi (tebak-tebakan) dan tidak dilengkapi pendapat atau wawancara dari pihak perusahaan [sehingga wartawan/pengarang cenderung mengarang fakta dan membuat seolah-olah khayalannya adalah kenyataan], investigasi dari Schlosser, Warner, dan Moss (saya belum membeli Mindless Eating) dilengkapi penelitian, wawancara dan investigasi menyeluruh dan obyektif atas masalah yang diangkat. Mereka tidak segan-segan bertanya kepada peneliti-peneliti kimia makanan (food chemist), melakukan riset sendiri dengan berbagai makanan olahan, mendatangi berbagai festival dan pameran bahan makanan (ingredients), tidak kenal lelah mengejar peneliti makanan yang pernah bekerja di suatu perusahaan makanan olahan, terus- menerus meminta wawancara dari eksekutif pemasaran dan eksekutif puncak di perusahaan yang akan diinvestigasi, dan bertanya kepada analis Wall Street yang mengcover perusahaan terkait. Semua demi buku berisi tulisan obyektif dan investigasi menyeluruh.
Dari ketiga buku tersebut, kita jadi sadar kelebihan dan kekurangan makanan olahan (junk food) yang kita santap. Mereka kaya akan vitamin, mineral, gula, garam dan lemak. Mereka menghemat waktu. Ibu dan wanita karir bisa menghemat waktu lebih banyak dengan menyajikan makanan olahan. Tapi makanan olahan juga miskin serat, sehingga meningkatkan risiko konstipasi dan kanker usus besar. Tingginya kandungan gula dan lemak dalam makanan olahan membuat konsumennya semakin berisiko akan serangan jantung, obesitas dan segala rupa kanker.
Ada sejumlah informasi remeh tapi penting yang didapat dari ketiga buku. Misalnya lanolin –lemak dari kulit jeruk dan lemak bulu domba- adalah sumber utama Vitamin D. Bahwa tubuh kita tidak bisa menyerap vitamin jika memakan salad dengan saus rendah lemak. Atau bahwa makanan ringan (terutama yang dibungkus karton) tidak akan membusuk atau berubah warna, rasa dan bentuk setelah 6 tahun disimpan dalam suhu ruangan.
Tujuan perusahaan di manapun juga adalah memaksimasi nilai pemiliknya [atau pemegang sahamnya]. Salah satu caranya adalah memaksimalkan laba (profit). Laba bisa dimaksimalkan dengan menekan biaya operasional dan atau memacu penjualan. Michael Moss dalam Salt Sugar Fat menjelaskan secara mendetail bagaimana perusahaan memacu penjualan makanan olahan mereka, entah melalui iklan, lobi politik terhadapa regulator (USDA, FDA), menambah gula atau garam lebih banyak, atau menyewa celebrity chef. Melanie Warner (Pandora’s Lunchbox) dan Eric Schlosser (Fast Food Nation) bercerita darimana perusahaan-perusahaan mendapatkan bahan-bahan mentah dan teknologi untuk menghasilkan produk jualan utama mereka.

Ada beberapa hal yang sama-sama bisa ditemukan di ketiga buku ini, yaitu fakta sejarah sejumlah perusahaan dan regulator, serta dampak buruk makanan olahan terhadap kesehatan manusia. Fokus investigasi dan narasi mereka adalah perusahaan makanan olahan yang berada di AS, dimana budaya makan instan telah merasuk ke sendi-sendi kehidupan. Jika fokus investigasi mereka adalah perusahaan makanan olahan segar yang mayoritas konsumennya masyarakat Eropa (terutama Eropa Barat) dan Jepang, tentu fokus mereka bergeser pada teknologi pengemasan pasca panen, subsidi pupuk besar-besaran, atau proteksionisme. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bagus Serap Air

    Konsekuensi dari tinggal di kamar kos dekat pohon besar adalah kamar yang lembab. Begitu pula dengan kamar saya. Tepat di depan kamar menjulang pohon mangga. Kaum tetumbuhan setiap malam rajin mengeluarkan karbon dioksida dan uap air sepanjang hari. Tidak heran kamar saya menjadi lembab, rentan jamur, baju dan buku terancam lapuk.     Untuk itulah saya memerlukan desiccants alias penyerap lembab yang dapat menyerap uap air dengan kuat. Saya pun mencoba Bagus Serap Air varian 450 ml sekali pakai. Bahan Aktif yang digunakan ialah butiran kalsium klorida (CaCl). Hasilnya? Dalam waktu 30 hari satu wadah penuh terisi cairan air dan garam yang berasal dari kelembaban di kamar saya.

Teh Tarik

Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, minuman bernama teh tarik ini bisa dibilang barang baru. Minuman yang berasal dari campuran teh hitam dengan susu ini baru dikenal awal tahun 200an, saat beberapa restoran menawarkan menu-menu ala negeri jiran, terutama Malaysia dan Singapura. Teh tarik biasa disajikan bersama roti bakar dan wafel di restoran-restoran ini.     Teh tarik sering rancu diartikan sebagai teh susu. Walau benar sebagian, ada perbedaan kecil antara teh tarik dan teh susu. Teh tarik adalah teh susu yang dituang bolak-balik di antara dua gelas besar sehingga menghasilkan cita rasa yang khas. Teh susu yang biasa disajikan di booth-booth berbagai merek teh biasanya hanya teh hitam dicampur susu yang dikocok beberapa saat dengan es batu.

The Last Ship

Sebuah virus yang lebih mematikan dari Ebola dan lebih menular dari SARS menyerang penduduk bumi. Belum ada vaksinnya. Penduduk dunia yang tewas karena virus bertambah dengan cepat dari hari ke hari. Harapan terakhir ada di pundak virolog Dr. Rachel Scott dan awak kapal USS Nathan James. Mereka berjuang mencari vaksin virus tersebut agar dapat segera diberikan kepada orang-orang yang terinfeksi. The Last Ship adalah tontonan yang tepat bagi wanita pencandu ketegangan tapi tidak ingin kehilangan hiburan wajah-wajah tampan. Marinir-marini kapal USS Nathan James adalah gambaran ideal pasukan angkatan laut. Taktis, kuat, gesit, lincah, serba bisa, dan lumayan punya rasa humor. Bagi para wanita, inilah salah satu serial yang memanjakan mata.