Langsung ke konten utama

Paper Towns By John Green

Beberapa waktu yang lalu saya pernah menulis di twitter bahwa karya-karya John Green layak disebut binge read. Ringan, agak menarik, tapi kering dari nilai hiburan, moral dan ilmu (knowledge). Novel-novelnya mencoba untuk terlihat filosofis, mengadaptasi nilai-nilai filsafat ke bahasa remaja yang mudah dipahami, namun terasa agak ganjil ketika dibaca kutu buku yang sudah pernah menikmati Paulo Coelho, Umberto Eco, atau Haruki Murakami. Karya-karya John Green memang ditujukan bagi remaja, dengan tema besarnya filsafat bagi pemula, atau dummy’s guide for philosophy.

Dari kacamata fiksi, novel-novel tulisan Green tidak berbeda satu sama lain. Paper Towns, An Abundance of Katherines dan Looking for Alaska punya premis yang sama: remaja pria biasa yang jatuh cinta kepada gadis populer dan sempurna, berusaha sekuat tenaga mengejar si gadis, tapi justru menemukan hal lain yang lebih penting dalam pengejarannya, entah sahabat-sahabat terbaik, gadis lain, jati diri, atau nilai keluarga. Kesamaan lainnya: si remaja pria ini punya sahabat-sahabat yang sangat loyal, dan si gadis sempurna merasa ada yang hilang dari dalam dirinya.
Seperti halnya The Fault In Our Stars , tokoh utama Paper Towns juga punya obsesi aneh terhadap sebuah karya sastra, yaitu puisi-puisi karya Walt Whitman. Bedanya, kalau di The Fault In Our Stars tokoh utamanya sampai pergi ke Belanda untuk menemui pengarang favoritnya, disini puisi Walt Whitman dipakai sebagai petunjuk hilangnya seseorang.
Ada 3 bagian utama dalam Paper Townds, yaitu Senar, Rerumputan,dan Wadah, dimana sulit dicerna kalau ketiga kata tersebut merepresentasikan isi dari suatu bab. Bagian paling enak dibaca dari Paper Towns adalah bagian terakhir, yaitu Wadah. Di bagian ini tokoh utama, Quentin Jacobsen, dan ketiga temannya melakukakan perjalanan ratusan kilometer demi menemukan gadis pujaannya, Margo Roth Spiegelman, yang sudah menghilang 2 minggu.
Kalau diminta memilih apakah keunggulan dari Paper Towns, maka saya kira itu adalah dialog-dialog antara Quentin dan Margo, dimana mereka bertukar pikiran dan pendapat tentang kehidupan sosial dan jati diri mereka. Apakah kepribadian mereka saat ini adalah keinginan mereka sebenarnya, atau gambaran harapan orang tua mereka dan masyarakat?
Tidak banyak yang bisa diharapkan dari Paper Towns, selain bahwa buku ini ringan, bisa dibaca sambil melamun, atau menambah kosa kata sederhana yang tidak pernah kita pikirkan untuk digunakan dalam karya prosa. Paper Towns bisa didapatkan di berbagai toko buku dengan harga kurang dari IDR 60ribu. Sejujurnya, novel ini kurang layak dikoleksi. Untungnya, kita bisa meminjamnya dari perpustakaan terdekat. Buku setebal 351 halaman ini bisa selesai dibaca dalam 2 jam saja.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bagus Serap Air

    Konsekuensi dari tinggal di kamar kos dekat pohon besar adalah kamar yang lembab. Begitu pula dengan kamar saya. Tepat di depan kamar menjulang pohon mangga. Kaum tetumbuhan setiap malam rajin mengeluarkan karbon dioksida dan uap air sepanjang hari. Tidak heran kamar saya menjadi lembab, rentan jamur, baju dan buku terancam lapuk.     Untuk itulah saya memerlukan desiccants alias penyerap lembab yang dapat menyerap uap air dengan kuat. Saya pun mencoba Bagus Serap Air varian 450 ml sekali pakai. Bahan Aktif yang digunakan ialah butiran kalsium klorida (CaCl). Hasilnya? Dalam waktu 30 hari satu wadah penuh terisi cairan air dan garam yang berasal dari kelembaban di kamar saya.

Teh Tarik

Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, minuman bernama teh tarik ini bisa dibilang barang baru. Minuman yang berasal dari campuran teh hitam dengan susu ini baru dikenal awal tahun 200an, saat beberapa restoran menawarkan menu-menu ala negeri jiran, terutama Malaysia dan Singapura. Teh tarik biasa disajikan bersama roti bakar dan wafel di restoran-restoran ini.     Teh tarik sering rancu diartikan sebagai teh susu. Walau benar sebagian, ada perbedaan kecil antara teh tarik dan teh susu. Teh tarik adalah teh susu yang dituang bolak-balik di antara dua gelas besar sehingga menghasilkan cita rasa yang khas. Teh susu yang biasa disajikan di booth-booth berbagai merek teh biasanya hanya teh hitam dicampur susu yang dikocok beberapa saat dengan es batu.

The Last Ship

Sebuah virus yang lebih mematikan dari Ebola dan lebih menular dari SARS menyerang penduduk bumi. Belum ada vaksinnya. Penduduk dunia yang tewas karena virus bertambah dengan cepat dari hari ke hari. Harapan terakhir ada di pundak virolog Dr. Rachel Scott dan awak kapal USS Nathan James. Mereka berjuang mencari vaksin virus tersebut agar dapat segera diberikan kepada orang-orang yang terinfeksi. The Last Ship adalah tontonan yang tepat bagi wanita pencandu ketegangan tapi tidak ingin kehilangan hiburan wajah-wajah tampan. Marinir-marini kapal USS Nathan James adalah gambaran ideal pasukan angkatan laut. Taktis, kuat, gesit, lincah, serba bisa, dan lumayan punya rasa humor. Bagi para wanita, inilah salah satu serial yang memanjakan mata.