Langsung ke konten utama

Elegi Gutenberg : Memposisikan Buku di Era Cyberspace by Putut Widjanarko

Elegi Gutenberg yang ini sama sekali berbeda dengan The Gutenberg Elegies : The Fate of Reading in an Electronic Age (1994) Karya Sven Birkets. Elegi Gutenberg karya Putut Widjanarko adalah kumpulan essay Selisik yang ditulisnya di harian Republika. Elegi Gutenberg versi Widjanarko hanya sedikit menyinggung kemajuan teknologi, berbeda dengan Gutenberg versi Berkets.
Gutenberg ala Widjanarko memuat essay-essaynya tentang buku dan segala sesuatu yang berhubungan dengan buku yang dibagi menjadi 4 bagian utama, yaitu : Pesona Kedigdayaan Teknologi dan Dunia Cyber, Pesona Hasrat Ekonomi dan Tuntutan Pasar, Pesona Para Penulis da Serombongan Pesohor, dan Pesona Sejarah, Pecandu dan Perilaku Anehnya.
Kumpulan essay ini terbit pada Mei 2000, ketika Microsoft sedang berjaya dan industri buku Indonesia sedang sekarat. Waktu itu penjualan buku penulis lokal belum sebanyak sekarang, belum ada iPhone & Android, Toko Buku Gramedia masih terbatas (hanya ada di kota sangat besar), dan belum ada blog & sosial media sebagai media ekspresi. Tidak heran kalau beberapa tulisa menyorot keprihatinan penulis akan industri buku dan penerbitan yang saat ini sudah tidak relevan (Widjanarko tidak menyinggung pembajakan buku, yang marak di kota-kota besar). Sejak booming Laskar Pelangi dan Ayat-Ayat Cinta, penulis kurang laku sekalipun (penjualan kurang dari 100 eksemplar per bulan selama 6 bulan berturut-turut) bisa menerbitkan buku sendiri dengan teknologi print-on-demand.
Beberapa tulisan menyoroti betapa perkasanya industri buku di Amerika dan Eropa, yang sekarang mulai tergeser oleh buku non-cetak dalam format pdf atau epub dan bisa didapat dengan harga USD 0.99 (9ribu) saja.
Bagi teman-teman yang ingin memahami bagaimana industri buku dan penerbitan berevolusi, Elegi Gutenberg layak menjadi referensi. Kita bisa tahu bahwa promosi yang tepat (bukan hanya konten/isi buku) bisa membuat suatu buku laris dan penulisnya bergelimang royalti plus sponsorship.
Satu jawaban saya terhadap pertanyaan di sampulnya (Akankah cyberspace dan teknologi baru memusnahkan era Gutenberg?) adalah : belum. Kindle, Kobo, Googlebooks belum cukup kuat menggusur buku cetak. Mereka justru memacu penjualan buku fisik karena bagaimanapun membaca dan mengoleksi buku fisik dari kertas lebih aman di mata dan enak dibaca berulang kali.
Pendapat saya, buku ini menarik dibaca sebagai referensi, bukan untuk dikoleksi. Isinya terlalu nanggung, tidak terlalu menghibur seperti essay karya Trinity atau Raditya Dika. Elegi Gutenberg pun tidak menambah wawasan seperti Agustin Wibowo atau mengusik logika seperti V.Lestari dan Clara Ng. Enak dibaca tidak enak dibeli. Makanya lebih baik meminjam saja daripada membeli.

Komentar

Anonim mengatakan…
wah wah... kalo gitu ane pinjam punya enta aja yah, hha folbak blog ane ya :D
ThinkTrial mengatakan…
saya pun minjem perpus, mas hwehehe ^.^

Postingan populer dari blog ini

Bagus Serap Air

    Konsekuensi dari tinggal di kamar kos dekat pohon besar adalah kamar yang lembab. Begitu pula dengan kamar saya. Tepat di depan kamar menjulang pohon mangga. Kaum tetumbuhan setiap malam rajin mengeluarkan karbon dioksida dan uap air sepanjang hari. Tidak heran kamar saya menjadi lembab, rentan jamur, baju dan buku terancam lapuk.     Untuk itulah saya memerlukan desiccants alias penyerap lembab yang dapat menyerap uap air dengan kuat. Saya pun mencoba Bagus Serap Air varian 450 ml sekali pakai. Bahan Aktif yang digunakan ialah butiran kalsium klorida (CaCl). Hasilnya? Dalam waktu 30 hari satu wadah penuh terisi cairan air dan garam yang berasal dari kelembaban di kamar saya.

Teh Tarik

Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, minuman bernama teh tarik ini bisa dibilang barang baru. Minuman yang berasal dari campuran teh hitam dengan susu ini baru dikenal awal tahun 200an, saat beberapa restoran menawarkan menu-menu ala negeri jiran, terutama Malaysia dan Singapura. Teh tarik biasa disajikan bersama roti bakar dan wafel di restoran-restoran ini.     Teh tarik sering rancu diartikan sebagai teh susu. Walau benar sebagian, ada perbedaan kecil antara teh tarik dan teh susu. Teh tarik adalah teh susu yang dituang bolak-balik di antara dua gelas besar sehingga menghasilkan cita rasa yang khas. Teh susu yang biasa disajikan di booth-booth berbagai merek teh biasanya hanya teh hitam dicampur susu yang dikocok beberapa saat dengan es batu.

The Last Ship

Sebuah virus yang lebih mematikan dari Ebola dan lebih menular dari SARS menyerang penduduk bumi. Belum ada vaksinnya. Penduduk dunia yang tewas karena virus bertambah dengan cepat dari hari ke hari. Harapan terakhir ada di pundak virolog Dr. Rachel Scott dan awak kapal USS Nathan James. Mereka berjuang mencari vaksin virus tersebut agar dapat segera diberikan kepada orang-orang yang terinfeksi. The Last Ship adalah tontonan yang tepat bagi wanita pencandu ketegangan tapi tidak ingin kehilangan hiburan wajah-wajah tampan. Marinir-marini kapal USS Nathan James adalah gambaran ideal pasukan angkatan laut. Taktis, kuat, gesit, lincah, serba bisa, dan lumayan punya rasa humor. Bagi para wanita, inilah salah satu serial yang memanjakan mata.